Taking It Easy

Meskipun tanggal lahir saya yang ‘nanggung’ sering membuat saya sebal karena tidak memiliki zodiak yang pasti, setiap memasuki Bulan Juli saya pasti merasakan mood spesial untuk melakukan perayaan. Kadang dengan melakukan hal-hal yang bersifat seremonial–seperti melakukan birthday city ride tahun lalu–tapi sering juga ‘perayaan’ ini hanya terjadi di dalam kepala saya sendiri–seperti yang terjadi tahun ini.

IMG_20170721_161458_837
Bersepeda mengelilingi Kota Bandung dalam rangka merayakan hari ulang tahun saya tahun lalu

Kali ini, saya memasuki Bulan Juli dengan satu kesimpulan, yaitu hidup yang saya jalani selama hampir 30 tahun ini sangat penuh dengan kegagalan. Bahkan saking penuhnya, sepertinya tidak akan bisa saya ingat persis satu per satu.

Saya pernah gagal mempertahankan pertemanan dengan banyak orang. Mulai dari karena salah bertutur kata, sampai karena kehilangan daya untuk mempertahankan kebiasaan saling bertukar kabar. Saya juga–tentunya–pernah gagal dalam hal percintaan. Mulai dari ‘gagal kasual’ yang bisa saya sikapi dengan cengengesan, sampai yang membuat saya merasa terpuruk, putus asa, dan merasa menjadi manusia yang paling malang di alam semesta.

Tapi dari semua kegagalan itu, satu kegagalan yang paling terasa ‘celaka’ untuk saya adalah bagaimana saya menjalani hidup yang hampir 180o berbeda dari hidup yang saya cita-citakan. Bisa dikatakan bahwa saya adalah salah satu orang yang gagal mewujudkan cita-cita saya sendiri.

Seperti halnya orang lain, saya tumbuh besar dengan bermacam-macam cita-cita yang sering berganti. Cita-cita pertama saya sewaktu sekolah dulu adalah menjadi guru–yang seringkali membuat saya ditertawakan, karena konon katanya gaji guru itu kecil. Ketika bertambah besar sedikit dan mulai memahami pekerjaan ibu saya, saya lalu berganti cita-cita menjadi psikolog–karena menurut saya kemampuan untuk menemukan solusi bagi berbagai permasalahan manusia itu adalah hal yang luar biasa bermanfaat.

Selain dua profesi itu, saya pun juga pernah memiliki niat berkuliah di jurusan sastra atau jurnalistik, karena saya memang senang menulis. Ketika akhirnya memutuskan untuk mengambil jurusan Desain Produk, tentu seluruh cita-cita yang pernah terlintas di kepala saya itu menjadi terdengar menggelikan. Apalagi sekarang, ketika pekerjaan yang saya jalani justru gagal untuk tetap berada di jalur yang konsisten dengan semua profesi yang pernah saya inginkan.

Ada pula sebuah kejadian yang cukup membekas di pikiran saya.

Tahun 2013 lalu, ketika saya baru melewati prosesi lamaran, salah satu teman saya semasa kuliah menghubungi saya. Dia tidak mengucapkan selamat atau mendoakan, tapi kalimat yang meluncur pertama dari kelincahan jempolnya adalah:

“Kok lo nikah sih, Syn?”

2018-07-04-09.02.56-1web
Tentu tidak jarang juga saya bertemu teman yang mempertanyakan: “Kok lo tiba-tiba ngajar yoga sih, Syn?” 😀 (foto oleh @dgoeitar)

Mungkin di mata teman saya itu, lagi-lagi saya gagal untuk mempertahankan keinginan saya untuk fokus pada karier dan mengesampingkan urusan pernikahan–yang saya juga agak lupa sih, apakah pernah saya cetuskan langsung atau hanya sebatas asumsi dari teman saya saja. Tapi yang jelas saya menumbuhkan perasaan kecewa dalam diri teman saya itu karena tidak bisa konsisten dengan apa yang saya citrakan kepadanya selama ini.

Lalu jangan lupa, saya pun pernah mengalami sebuah kegagalan besar sebagai seorang wanita, yaitu gagal mempertahankan hidup anak saya sendiri.

Sampai detik ini pun, kalau mau dijembrengin satu per satu, keseharian saya masih sering dipenuhi kegagalan. Mulai dari gagal memotivasi diri untuk mengikuti jadwal latihan yang sudah saya siapkan, gagal untuk tiba tepat waktu sesuai dengan janji, gagal mengeksekusi asana saat berlatih, gagal mempertahankan kesehatan sehingga jatuh sakit, gagal mewujudkan pace lari yang saya idamkan, gagal mempertahankan konsistensi dalam blogging, gagal memiliki rumah yang rapi jali sepanjang hari, dan masih banyak lagi–kalau tidak mau dikatakan banyak sekali.

Meskipun begitu, jika saat ini saya harus menjawab dengan jujur, saya akan berkata tidak ada satupun dari jutaan kegagalan besar dan kecil yang pernah–atau sedang–terjadi dalam hidup saya, membuat saya merasa telah menjalani hidup yang gagal.

Saya sendiri agak sedih karena baru benar-benar menyadari hal ini menjelang hari ulang tahun saya yang ke-30. Saya berharap ini adalah salah satu hal yang saya sadari–atau paling tidak, pelajari–sejak saya masih lebih muda. Karena sungguh tidak ada hal yang lebih baik untuk menjadi bahan bakar dalam menjalani hidup selain rasa optimis. Ya, bahkan rasa optimis setelah melewati banyak kegagalan seperti saya.

Saya tidak membicarakan optimisme dalam mewujudkan cita-cita. Sudahlah, saya sepertinya tidak akan mungkin lagi tercatat sebagai mahasiswa di jurusan sastra atau psikologi. Yang saya rasakan saat ini adalah optimisme yang tumbuh setelah saya menyadari bahwa cita-cita yang gagal terwujud pun sebenarnya tidak membawa malapetaka apapun dalam hidup saya. Saya masih bisa makan, minum, dan bernapas dengan tenang–meskipun kadang asma saya masih kumat.

Karena kalau saja dari dulu saya mau berpikir dengan lebih jernih, sebenarnya seluruh rasa gagal itu tidak akan muncul jika tidak saya izinkan sejak awal. Saya sendiri yang menciptakan cita-cita untuk menjadi desainer, sehingga menuntut diri saya untuk mewujudkannya setelah lulus kuliah. Padahal mungkin saja sebenarnya sejak detik pertama ruh saya ditiupkan ke dalam rahim ibu saya, saya sudah memiliki takdir untuk menjadi guru yoga. Siapa yang tahu?

2018-07-03-03.37.01-1web
Bagaimana kalau ternyata sejak lahir saya memang ditakdirkan untuk ‘melipat-lipat’ tubuh orang seperti ini?

Saya bukannya menyarankan seluruh pembaca tulisan ini untuk berhenti bercita-cita. Saya hanya ingin menyampaikan kenyataan bahwa cita-cita yang tidak terwujud itu bukan berarti akhir dari dunia. Kenyataannya, jika sejak kecil saya hanya mengetahui ada satu jenis profesi di dunia–menjadi polisi, misalnya–maka saya tidak akan pernah memiliki cita-cita lain selain menjadi polisi. Seringkali, cita-cita adalah cerminan dari seberapa luas wawasan yang saya punya–dan wawasan itu tentunya tidak seberapa jika dibandingkan dengan wawasan-Nya, yang menciptakan dunia dan seisinya.

Cukuplah sepertinya mempercayai bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu hanya untuk menjadi sia-sia. Sebutir debu pun memiliki perannya sendiri di dunia ini.

 

Namasté 🙂

Dyah Synta

Leave a comment