Berbuat Benar atau Berbuat Baik?

Sampai detik ketika saya menuliskan tulisan ini, jika diharuskan memilih untuk memprioritaskan salah satu dari dua pilihan di atas, saya selalu menjawab dengan jawaban standar, “Tergantung.” Tergantung situasi, tergantung keperluan, tergantung siapa objeknya, dan puluhan faktor tergantung lainnya. Jawaban plin-plan ini terbentuk hampir secara otomatis, karena sejujurnya saya sendiri belum tahu apa jawaban yang benar dari pertanyaan itu.

Beberapa tahun yang lalu, untuk beberapa waktu, saya cukup berpegang teguh pada kebenaran. Saya nyaris tidak peduli bagaimana saya menyampaikan sesuatu, selama saya merasa bahwa yang saya sampaikan itu benar. Terus terang, pada masa-masa itu saya jarang mengalami pergulatan batin, karena segala sesuatu terlihat begitu sederhana. Hitam atau putih, salah atau benar. Kalau salah, tinggalkan. Kalau benar, jalankan. Kalau salah, tapi saya suka? Buat pembenarannya. Tidak ada satu hal pun yang abu-abu, kecuali saya yang memilih untuk mengabu-abukannya.

Kalau salah, tinggalkan. Kalau benar, jalankan. Kalau salah, tapi saya suka? Buat pembenarannya.

Pada hari-hari itu juga saya mudah menghakimi orang yang melakukan hal-hal yang menurut saya ‘remeh’. Dan–percaya atau tidak–salah satu hal yang saya anggap remeh adalah yoga.

Dulu, saya sangat yakin bahwa stretching hanyalah pelengkap sesi olah raga. Main body dari olah raga itu sendiri haruslah kegiatan yang membakar banyak kalori, menyucurkan banyak keringat, dan membuat para pelakunya nyaris pingsan saat melakukannya. Konsep bahwa satu sesi olah raga hanya diisi oleh rangkaian variasi pose strecthing terdengar luar biasa menggelikan untuk saya.

Kesombongan inilah yang pada akhirnya membawa saya ke studio Bikram Yoga ketika saya ingin mencoba yoga untuk pertama kalinya. Saya tidak mau hanya sekedar melakukan yoga, karena saya yakin pasti tidak akan terasa manfaatnya. All or nothing, mungkin frase itu yang saya jadikan justifikasi atas kesombongan saya.

Lagi-lagi, all or nothing. Nyaris pingsan atau tidak olah raga samasekali.

Itu pula yang terjadi saat saya berkenalan dengan olah raga lari. Baru beberapa minggu rutin berlari di pagi hari, saya langsung mencari training plan yang mengiming-imingi janji bahwa saya akan mampu berlari lebih cepat. Otomatis, saya berhadapan dengan beragam variasi latihan interval yang–tentunya–membuat saya nyaris pingsan saat melakukannya. Lagi-lagi, all or nothing. Nyaris pingsan atau tidak olah raga samasekali.

Baik ketika masih rajin mengunjungi studio Bikram Yoga maupun saat menjalankan training plan penuh latihan interval, saya selalu memiliki semangat menggebu-gebu yang berlebihan. Alasannya, karena saya yakin bahwa yang saya lakukan itu adalah olah raga yang benar–karena mereka membuat saya bekerja keras dan membakar banyak kalori. Saya merasa hebat, dan mungkin semakin sombong.

Yang terjadi tidak lama kemudian adalah yang orang sebut sebagai kenyataan. Tidak sampai satu tahun menjalani hari-hari rutin berolah raga, lalu saya terserang tifus. Tentu saat itu saya merasa saya hanya kurang cermat mengonsumsi makanan. Setelah pulih dan bisa kembali berolah raga, saya kembali pada kegiatan rutin saya mem-bully tubuh sendiri dengan olah raga yang ‘benar’–menurut saya. Tidak terpikir sedikitpun bahwa mungkin saja saya terserang tifus karena tubuh saya menyerah terus-menerus saya uji melebihi kapasitasnya.

Kalau saya ingat-ingat lagi, pada masa itu saya tidak pernah bisa mempertahankan olah raga rutin dalam jangka waktu lama. Setelah beberapa minggu rutin berolah raga, saya pasti terserang penyakit, entah itu berupa flu, diare, atau cedera. Karena itu, ketika beberapa hari yang lalu saya mempersiapkan bullet journal untuk tahun 2017, saya sempat kaget karena menyadari sesuatu: tahun 2016 adalah tahun pertama yang bisa hampir seluruhnya saya penuhi dengan olah raga. Dan sebagian besar dari olah raga itu adalah yoga–yang dulunya saya pandang sebelah mata.

…tahun 2016 adalah tahun pertama yang bisa hampir seluruhnya saya penuhi dengan olah raga. Dan sebagian besar dari olah raga itu adalah yoga–yang dulunya saya pandang sebelah mata.

Mungkin yoga bukan olah raga yang benar untuk saya lakukan. Mungkin, kalau orang melihat bentuk fisik saya, mereka akan berpikir saya lebih membutuhkan kardio atau HIIT training. Tapi saya tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa yoga adalah olah raga yang baik untuk saya, olah raga yang memberikan proses yang dibutuhkan oleh tubuh saya. Mungkin kalori yang terbakar tidak banyak, tapi ternyata itulah olah raga yang mampu saya lakukan terus-menerus selama setahun. Dan mungkin karena saya ‘berdamai’ dengan kemampuan tubuh, selama satu tahun kemarin saya menjalani tahun paling bugar seumur hidup saya–bahkan bukan hanya secara fisik saja.

Saya tidak pernah menyalahkan mereka yang menganggap yoga sebagai olah raga yang culun, remeh, atau ‘cantik’, karena saya pun pernah beranggapan seperti itu untuk waktu yang cukup lama. Setelah melewati masa-masa berpikiran seperti itu, pada akhirnya saya terpaksa menyadari bahwa tubuh saya memang culun, tapi bukan berarti harus selamanya menjadi seperti itu.

…pada akhirnya saya terpaksa menyadari bahwa tubuh saya memang culun, tapi bukan berarti harus selamanya menjadi seperti itu.

Kalau saat ini saya kembali dihadapkan dengan pertanyaan di atas, saya masih akan menjawab, “Tergantung.” Tapi jika konteksnya adalah untuk tubuh dan kesehatan, saya akan langsung menentukan jawaban untuk memilih yang paling baik bagi tubuh. Olah raga yang mudah bukan berarti tidak bermanfaat, dan olah raga yang menantang tidak selalu benar. Seremeh apapun benih yang saya tabur, suatu hari nanti pasti akan bisa saya panen hasilnya. In the mean time, saya hanya harus tetap sabar menabur setiap saat 🙂

 

Namasté 🙂

5 Comments

  1. senangnya..
    aku tuh sebenernya paham banget loh olahraga itu menyenangkan sekali.
    apalagi habis sepedahan atau berenang, tapi entah kenapa sulit sekali menjadikannya sebuah kegiatan rutin huhuhu 😦

    Like

Leave a comment