Mengapa Nomor Dua?

Waktu saya SD dulu, ada sebuah sinetron yang saya lupa apa judulnya. Saya tidak mengikuti sinetron ini secara rutin, tapi waktu itu, kebetulan saya menyaksikan episode terakhirnya. Saya ingat sekali bahwa salah satu konflik utamanya adalah perseteruan dua orang laki-laki dalam memperebutkan sebuah jabatan–yang saya juga lupa jabatan apa persisnya.

Pada akhirnya, yang ‘memenangkan’ perebutan jabatan itu bukanlah salah satu dari dua orang tersebut, melainkan laki-laki lain yang selama ini ‘hanya’ menduduki posisi sebagai wakil dari jabatan tersebut. Yang membuat adegan terakhir dari episode final itu sangat berbekas di ingatan saya adalah kalimat yang diucapkan oleh Si Wakil ini:

“Jadilah orang nomor dua. Ketika tidak ada orang lain yang bisa menduduki posisi nomor satu, kamulah yang akan menjadi nomor satu.”

Kalimat yang cukup masuk akal, menurut saya. Apalagi beberapa tahun kemudian, Bapak B.J. Habibie menduduki jabatan sebagai Presiden RI dengan latar belakang cerita yang serupa.

Saya dan Kompetisi

Saya menjalani masa remaja di lingkungan yang sangat kompetitif, karena itu saya memiliki hubungan yang cukup kompleks dengan sifat tersebut. Di satu sisi, saya mengamini bahwa kompetisi adalah metode yang cukup efektif dalam menumbuhkan semangat berjuang. Di sisi lain, setiap mendengar kata tersebut, ingatan saya langsung kembali ke momen menyebalkan saat saya baru selesai mengerjakan UAN Matematika di SMA. Waktu itu, saya mendengar seorang teman membanting alat tulisnya ke lantai sambil mengeluarkan makian: “Ah anjrit, gue salah satu nomor!”

Memang ada kalanya saya sangat menikmati atmosfir perkompetisian. Mulai dari mengikuti beberapa lomba, mendapat ranking ketika pembagian raport, sampai rivalitas kurang penting di lingkungan pertemanan. Selama sekolah, bisa dibilang saya cukup menikmati perasaan dipacu untuk mengeluarkan kemampuan yang terbaik setiap saat.

Sampai tibalah saya di masa kuliah, ketika saya benar-benar merasa ‘dipecundangi’. Mata kuliah-mata kuliah yang harus saya ambil samasekali tidak saya pahami logikanya, dan tugas-tugasnya pun luar biasa banyaknya.  Untuk pertama kalinya seumur hidup, saya berada dalam situasi di mana saya tidak memiliki peluang sedikitpun untuk menang–bahkan berusaha untuk survive saja sudah cukup membuat saya babak belur.

Di tengah perasaan rendah diri dan putus asa, tanpa sengaja saya memilih mengambil sikap menganggap tidak ada kompetisi apa-apa. Ketika saya mendapat nilai bagus, saya anggap itu rejeki, dan kalau tugas saya mendapat nilai jelek, ya.. wajar saja. Tapi, entah nilai yang saya peroleh bagus atau jelek, saya tidak merasa perlu membanding-bandingkannya dengan nilai orang lain. Saya bahkan tidak merasa perlu mengetahui nilai yang diperoleh teman-teman saya. Awalnya, saya melakukan ini untuk menghindari merasa sakit hati. Tapi lama-lama, sikap inilah yang membuat saya bisa menjalani masa kuliah dengan sangat bahagia, dan mempertemukan saya dengan sahabat-sahabat yang luar biasa.

//platform.instagram.com/en_US/embeds.js

Selama sekitar empat tahun, saya menjalani kuliah dengan mindset menyenangkan ini. Ketika akhirnya saya lulus, mencari kerja, lalu bekerja kantoran, mindset ini pun tetap melekat. Sampai akhirnya, suatu hari saya dipertemukan dengan yoga.

Yoga dan Kompetisi

Kelas yoga pertama saya sangat awut-awutan. Saya memakai pakaian yang tidak membuat saya nyaman bergerak, saya tidak mengetahui apa yang harus saya lakukan, dan saya hanya menahan setiap asana dalam waktu yang sangat singkat karena waktu saya habis untuk menyontek orang-orang yang ada di dekat saya. Lagi-lagi, saat itu saya kembali merasa dipecundangi.

…harus saya akui bahwa beberapa asana terasa sangat mudah untuk saya lakukan.

Meskipun begitu, beberapa hari setelah kelas pertama saya, saya kembali datang ke studio. Pegal-pegal di seluruh tubuh saya bahkan belum sepenuhnya hilang, tapi saya kembali datang karena menyadari satu hal: betapapun saya merasa dungu di kelas pertama saya, harus saya akui bahwa beberapa asana terasa mudah untuk saya lakukan.

Saya memang sempat agak GR dan mempertimbangkan kemungkinan bahwa saya sangat berbakat dalam yoga, tapi sayangnya bukan begitu kenyataannya. Setelah beberapa kali mengikuti kelas, saya akhirnya mengetahui bahwa setiap orang di dalam kelas memiliki gift-nya masing-masing. Ada yang memang bisa dengan mudah menjaga keseimbangan di atas satu kaki, ada yang bisa memelintir tubuhnya seolah tanpa usaha. Kelas itu membuka mata saya bahwa saya memang spesial, dan begitu pula adanya dengan orang-orang lain.

Inilah salah satu poin pertama yang membuat saya jatuh hati pada yoga: prinsip bahwa di dalam yoga tidak ada kompetisi, bahwa yoga menghargai keunggulan masing-masing tubuh dan masing-masing pribadi. Saya bukan praktisi yoga yang terbaik, memang tidak akan pernah menjadi yang terbaik, dan tidak perlu memiliki ambisi untuk menjadi yang terbaik. Dalam yoga, saya hanya perlu menjadi diri saya yang lebih baik dari hari ke hari.

…yoga menghargai keunggulan masing-masing tubuh dan masing-masing pribadi.

Tidak pernah ada yang menjanjikan bahwa surga hanya akan diisi oleh para juara. Oleh karena itu, saya jadi semakin yakin bahwa menjadi ‘si nomor dua’ itu samasekali tidak apa-apa.

Namasté 🙂

 

1minggu1 cerita

16 Comments

  1. aku sukaaaaaaa banget tulisan iniii dulu sih iya, gw kompetitif bgt, tapi pas udah punya keluarga, lelaaaaah rasanya untuk jadi nomer satu melulu, ternyata yang lebih penting adalah get it done bukan get it best (yg penting selesai, bukan yang penting jadi terbaik). huahaha pas kuliah remembering yg laen pada makan ayam kol di belakang, lah gw masih di kelas nyelesain nirmana :)))) love u syyn.

    Like

  2. Aku malah sekarang pas kuliah lagi ini ketemu orang-orang kompetitif yang bikin..emm..males. Ada yang kerjaannya nanya, “gimana papernya udah selesai blom?”. Setelah pengumpulan nilai, “alhamdulillah nilaiku bagus-bagus” (kebeneran org Indonesia). Lalu waktu masa2 thesis, “Gimana udah daftar blom?”. Saya ga tahan dengan orang2 humble brag yang suka ngecekin posisi orang demi membanding2kan dengan dirinya…. Ah..jadi tertarik ikutan yoga kalo ga ada kompetisi..hehe..

    Like

  3. mengubah paradigma “juara” menjadi “terbaik untuk diri kita sendiri” adalah PR
    abisan tagline-nya aja: Bandung Juarak hahahah

    tapi emang gitu sih emang: dari kecil biasa dirangking2 dll

    jadi kadang kita ngerasanya: idup emang kudu saingan terus, itu seakan-akan mutlak tea

    Like

  4. Selalu kagum dengan orang yang rajin yoga, secara badan aku kaku bgt…
    Ditambah lagi, tulisan ttg filosofi yoga nya keren-keren. jleb bgt deh 😀

    Salam kenal, Teh Synta 🙂

    Like

Leave a comment