Baik-Baik Saja

Saya sedang menghitung hari menuju putaran kedua pemilihan Gubernur DKI Jakarta, karena saya masih tercatat sebagai salah satu pemegang KTP di wilayah itu. Tidak, saya tidak akan mengisi blog ini dengan tulisan bermuatan politik–karena siapalah saya untuk berbicara tentang hal itu. Saya hanya akan–seperti biasa–bercerita tentang bagaimana hati saya berbicara sepanjang proses menuju hasil akhir pemilihan ini berjalan.

Seperti sebagian besar orang yang memiliki akun sosial media dan tergabung dalam grup chat, saya sempat beberapa kali menemukan post berbau kampanye di feeds maupun chat roomPost ini juga datang dalam berbagai nada. Secara garis besar, sih, ada dua nada: yang bernada ajakan untuk ikut memilih pilihan yang sama dengan si pembuat post, dan yang bernada himbauan untuk tidak memilih pilihan yang berbeda dari si pembuat post. Tapi dua nada ini sepertinya banyak dikreasikan oleh para ‘pelantunnya’, jadi saja hasil akhir yang sampai kepada saya amat sangat beragam–mulai dari yang meyakinkan, sampai yang mencurigakan.

Saya memang orang yang sangat jauh dari kecenderungan berpolitik–ini sudah sejak duluuuu sekali saya sadari. Karena itu, biasanya post-post atau opini semacam ini saya abaikan begitu saja. Saya baru mulai memperhatikan topik ini ketika saya menemukan banyak orang-orang di sekitar saya yang mengaku meng-unfriend atau unfollow sejumlah teman-teman mereka karena merasa demikian terganggunya dengan fenomena ‘mendadak politik’ ini. Buat saya, kenyataan ini lebih ‘menyentuh’.

Saya baru mulai memperhatikan topik ini ketika saya menemukan banyak orang-orang di sekitar saya yang mengaku meng-unfriend atau unfollow sejumlah teman-teman mereka karena merasa demikian terganggunya dengan fenomena ‘mendadak politik’ ini.

Dampak dari tersentuhnya saya dengan pengakuan unfriend/unfollow ini adalah post yang saya tulis beberapa waktu yang lalu [link]. Sangat tersirat sebenarnya, tapi makna utama dari post itu–sejujurnya–adalah bagaimana saya sangat menyayangkan kecenderungan orang yang ‘berkampanye’ dengan mengabaikan kelembutan hati. Dan yang semakin saya sayangkan adalah dampak berupa memudarnya ikatan tali silaturahmi antara banyak orang karena hal tersebut. Betapa banyaknya orang yang merasa dihujani dengan timpukan berlian sampai mereka merasa lebih baik menutupi mata dan telinga dengan helm baja daripada harus bersikap ramah terhadap penimpuk berliannya.

‘Kalau memang semua orang ini mengharapkan memiliki pemimpin yang baik, mengapa mereka tidak mengusahakannya dengan cara yang baik juga?’

Mungkin saya naif, tapi di dalam kepala saya, saya tidak pernah berhenti bertanya, ‘Kalau memang semua orang ini mengharapkan memiliki pemimpin yang baik, mengapa mereka tidak mengusahakannya dengan cara yang baik juga?’

Sebagai manusia yang memiliki perasaan, saya pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan tentang menyinggung dan tersinggung. Karena pernah paham betul bagaimana tidak nyamannya berada di situasi seperti itu, saya selalu menghindar dari berada dalam satu situasi yang kira-kira akan membawa saya pada perdebatan–tentang apapun topiknya. Bukan karena saya tidak memiliki pandangan atau pendapat yang ingin saya bagikan, tapi karena saya ragu bisa menjamin bahwa tidak akan ada pihak yang tersinggung atas apa yang saya sampaikan.

Itu salah satu alasan terbesar mengapa saya cukup menjaga kerahasiaan pilihan saya. Alasan lainnya lagi adalah karena saya pun tidak yakin bahwa semua hal baik yang saya ketahui mengenai pilihan saya itu memang benar-benar baik, dan saya juga tidak yakin bahwa semua keburukan tentang pilihan saya yang diketahui oleh lawan bicara saya itu memang benar-benar buruk. Bukan karena saya tidak mencari tahu (percayalah, kekepoan saya itu agak berlebihan), tapi karena–sejauh yang saya tahu–dunia politik itu penuh ‘permainan informasi’. Karena itulah saya tidak menemukan manfaat dari memperdebatkan kebaikan dan keburukan para calon, karena mungkin saja kita hanya memperdebatkan informasi yang sama namun dipelintir ke arah yang berbeda. Saya paham betul bahwa saya memiliki kewajiban untuk menyebarkan kebenaran, tapi bagaimana kalau yang saya kira benar itu ternyata tidak 100% benar? Terlebih lagi kalau demi itu saya sudah terlanjur di-unfriend/unfollow oleh sejumlah teman-teman saya.

Karena itulah saya tidak menemukan manfaat dari memperdebatkan kebaikan dan keburukan para calon, karena mungkin saja kita hanya memperdebatkan informasi yang sama namun dipelintir ke arah yang berbeda.

Alasan lain mengapa saya enggan ‘berkampanye’ adalah karena saya sendiri pun tidak akan mempermasalahkan kalau pilihan saya tidak keluar sebagai pemenang. Biar bagaimanapun, saya hanya satu dari sekian banyak penduduk yang menggunakan hak pilih. Selalu ada kemungkinan bahwa saya bukan bagian dari kelompok mayoritas, selalu ada kemungkinan pemikiran saya tidak sejalan dengan pola pikir sebagian besar pemilih, selalu ada kemungkinan bahwa sosok pemimpin yang saya butuhkan berbeda dari sosok pemimpin yang diidamkan oleh mayoritas pemilih. Ekstrimnya, seperti yang pernah saya tuliskan dalam salah satu media sosial saya di masa Pemilu Presiden RI yang lalu: kalaupun calon yang saya pilih berhasil menjadi pemenang, bisa saja itu hanya membuktikan bahwa saya sama bodohnya dengan mayoritas pemilih. Because who am I to judge what’s best for everyone?

Sebagai orang yang malas berurusan dengan politik, di hati yang terdalam sebenarnya saya selalu menyenangi proses pemilihan pemimpin. Masih adanya sosok-sosok yang bersedia untuk mencurahkan intelektualitas, waktu, dan tenaganya untuk negara ini tentu adalah sesuatu yang patut disyukuri. Pemilihan umum adalah saatnya saya dan para pemilih merayakan munculnya para calon pemimpin, dan saya yakin berlomba-lomba dalam membuka aib mereka bukanlah cara yang tepat untuk melakukannya. Sudah cukup rasanya saya mendengar pendapat ‘Ini adalah pilihan yang terbaik dari pilihan-pilihan yang buruk.’ Negara ini tidak pernah seburuk itu, dan untuk saya, pertemanan tidak pernah saya anggap sereceh itu.

Mudah-mudahan dalam waktu dekat semakin banyak orang yang menyadari bahwa kebaikan adalah cara yang baik untuk mengkampanyekan sesuatu. Kindness is contagious, indeed–dan itulah mengapa saya memilih untuk menomorsatukannya.

“To be kind is more important than to be right.

Many times, what people need is not a brilliant mind that speaks but a special heart that listens.”

-F. Scott Fitzgerald

1minggu1 cerita

11 Comments

  1. seperti biasanya adem membaca tulisannya. Teman-teman daku banyak juga yang saling bagi soal pilkada ini. Dari kakak sampai adik kelas. Ada pula orang dalam lingkaran pertama sampai lingkaran terluar pihak-pihak yang sedang mau jadi pemimpin. Paling males kalo udah posting dan bilang, aku kan cuma pekerja saja. Tetapi yang dibagikannya menyakiti orang lain. Maka… disitu daku lelah dan unfollow.

    Like

  2. Setuju..dan suka bgt tulisannya .
    Karena dengan menjelek2an orang tidak akan bisa membuat orang lain berubah pikiran. Akupun sudah lama malas ngomongin politik pilkada/pilpres dll di sosmed..Lelaaah… Mending promosi blog ajalah #eh.

    Like

  3. Pingback: Baik-Baik Saja
  4. Kalau memang semua orang ini mengharapkan memiliki pemimpin yang baik, mengapa mereka tidak mengusahakannya dengan cara yang baik juga?’ – This! Walaupun di timeline aku ada yang beda kubu, nggak ada salahnya untuk tetap berteman biar tahu sudut pandang mereka. Kecuali kalau udah kelewat menggebu-gebu dan nyinyir langsung aku hide. Gerah, bok, sampe timeline Lambe Turah serasa lebih adem dibanding itu #eh

    Siapapun yang terpilih kelak, harapanku cuma satu: amanah saat bertugas. 😀

    Like

Leave a comment