Postpartum Body

Alhamdulillah, saat ini saya dan Aya sudah menamatkan apa yang banyak orang sebut sebagai fourth trimester. Masa adaptasi dua manusia dengan dua dunia barunya masing-masing, bersama-sama. ‘Bonusnya’ untuk kami, kami menjalani ini nyaris benar-benar berdua saja karena berada dalam kondisi long distance marriage. Beruntungnya, kami dikelilingi keluarga yang tidak membiarkan kami benar-benar merasa hanya berdua saja selama menjalani tiga bulan tersebut–bahkan sampai sekarang.

Sekitar 90 hari saya berusaha mencari-cari ‘pijakan’ dan menciptakan kestabilan baru sebagai seorang ibu. Tentu sulit, karena segala sesuatu di dalam diri saya masih berada dalam tahap pemulihan. Jiwa saya memulihkan diri dari seluruh ‘kejutan’ yang saya terima, akal saya memulihkan diri sambil berusaha mencerna seluruh rangkaian kewajiban baru yang harus saya penuhi setiap hari, dan raga saya memulihkan diri dari 37 minggu masa kehamilan sekaligus proses persalinan. Kalau boleh jujur, hingga saat ini mungkin kestabilan baru itu belum juga berhasil saya ciptakan. Hanya saja, memang setelah melewati tiga bulan pertama, segala sesuatunya terasa lebih ringan.

Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, selama masa kehamilan, saya berusaha untuk tetap rutin berolah raga. Ini membantu saya dalam banyak hal seputar pemulihan tubuh pasca melahirkan, sampai para suster dan dokter yang membantu proses persalinan caesar saya pun beberapa kali mengungkapkan kekaguman mereka melihat saya yang–meminjam istilah mereka–‘sudah lincah lagi, seperti mereka yang melahirkan secara normal’.

Tapi biar bagaimanapun, tubuh saya tetap saja samasekali tidak terasa seperti tubuh yang saya kenal.

Gejala pertama yang membuat saya menyadari tubuh saya sedang dalam kondisi ‘baru’ (baca: ringsek) adalah betapa mudahnya saya merasakan nyeri di kedua lutut ketika berjongkok–sebuah keluhan yang samasekali belum pernah saya alami sebelumnya. Gejala kedua, adalah ketika saya mengalami lower back pain setelah mengangkat bak mandi kecil berisi air untuk Aya. Lagi-lagi, sesuatu yang samasekali belum pernah saya alami sebelumnya. Saya semakin yakin bahwa tubuh saya memang sedang tidak baik-baik saja ketika saya mencoba untuk melakukan peregangan ringan, dan tidak sanggup. Postur yoga yang sebelumnya terasa sangat menenangkan seperti ananda balasana (happy baby) saja terasa seperti siksaan–pedih sekali.

Enam minggu berada dalam kondisi harus beristirahat dari olahraga samasekali tentu membuat hidup saya terasa sangat jauh berbeda dari hidup yang biasa saya jalani. Digabungkan dengan tubuh yang berada dalam kondisi baru–in a not so pleasing way–dan sejumlah adaptasi baru yang harus saya jalani–kembali tinggal bersama kedua orang tua di Jakarta setelah hampir sembilan tahun menjadi warga Bandung, untuk pertama kalinya harus hidup berjauhan dari suami dalam waktu lama, begadang untuk menyusui setiap malam–saya akui, sulit bagi saya untuk menjaga agar diri ini tetap berada dalam kondisi baik-baik saja. Saya merasa terombang-ambing, takut, dan tidak tenang, nyaris setiap saat.

Jika diterjemahkan ke dalam ‘bahasa’ yoga, chakra pertama saya berada dalam kondisi tidak baik-baik saja. Bahkan, mungkin lebih parah daripada itu.

Saya selalu menyadari bahwa chakra pertama saya membutuhkan perhatian lebih, bahkan sejak sebelum saya hamil. Chakra yang menerjemahkan hubungan diri dengan segala hal yang memberikan rasa aman ini, untuk saya, begitu sulit untuk ditemukan keseimbangannya dalam kondisi yang stabil. Mungkin jika divisualisasikan, kondisi chakra pertama saya itu seperti orang yang baru belajar mengendarai sepeda roda satu–dalam gerakan maju-mundur harus terus disadari, harus terus-menerus dicek, harus terus-menerus dilatih, harus terus diperhatikan agar tidak lantas ambruk atau melesat tanpa terkendali. Setelah melewati perjalanan kehamilan dan melahirkan, ternyata ia lalu terpuruk dan benar-benar… runyam.

Setelah di minggu keenam pasca melahirkan saya memperoleh clearance dari dokter untuk kembali berolahraga, saya memilih ‘jalur’ yang sangat perlahan, pendekatan yang sangat halus, untuk kembali aktif bergerak. Saya paham sekali bahwa ada banyak hal yang harus saya ‘perbaiki’, tapi justru karena itulah saya harus memastikan proses ‘reparasi’ ini berjalan berkelanjutan.

Saya memilih untuk memulai dengan menambah jumlah langkah sehari-hari, lalu perlahan-lahan memperkenalkan kembali rutinitas latihan kekuatan sambil berkenalan kembali dengan tubuh yang baru. Mulanya saya hanya mengandalkan pergerakan sehari-hari di dalam rumah untuk menambah jumlah langkah, namun kemudian saya tergerak untuk mengkhususkan sesi berjalan kaki di pagi hari. Sambil menggendong Aya di dalam stretchy wrap, supaya Aya pun ikut terpapar matahari.

Bisa dikatakan, inilah kegiatan olahraga utama yang saya lakukan saat ini. Latihan penguatan dan peregangan otot saya lakukan juga untuk melengkapinya. Saya menikmati sekali berjalan kaki sambil mengamati apa yang terjadi di sekitar saya dan menemani Aya terlelap di dalam gendongan. Selain memperoleh waktu untuk melakukan hobi berolahraga tanpa harus terpisah dari Aya, ketika berjalan pagi inilah saya seringkali mendapatkan ide-ide baru–baik untuk tesis saya maupun untuk hal-hal lainnya. Entah mengapa, saya merasa lebih bisa jernih mencerna permasalahan ketika memikirkannya sambil berjalan di bawah sinar matahari pagi.

Setelah kurang lebih tiga bulan menjalani rutinitas ini, saya menyadari satu hal:

Mungkin… proses kehamilan dan melahirkan memang ditujukan untuk ‘menghancurkan’ tubuh seorang wanita. Bukan supaya ia putus asa dan kemudian membenci tubuhnya, tapi karena ia membutuhkan tubuh yang samasekali baru untuk bisa membersamai jiwa yang dilahirkannya ke bumi, untuk bisa menjalani peran barunya sebagai seorang ibu.

Kesadaran ini, kini membuat saya mengubah tujuan dari olahraga yang saya lakukan. Saya tidak lagi bertujuan untuk ‘mereparasi’ atau mengembalikannya ke kondisi, bentuk, kemampuan, ataupun penampakannya dulu, karena tubuh saya yang dulu belum tentu sanggup mendampingi Aya tumbuh dan berkembang. Olahraga dan seluruh pola hidup yang saya jalani kini, dan ke depannya, bukan lagi untuk diri saya sendiri, karena ada nyawa lain yang mengandalkan kemampuan fisik dan fisiologis tubuh saya sebelum bisa menjalani hidupnya sendiri. Mungkin, akan ada kemampuan yang perlu untuk saya tingkatkan, tapi mungkin juga ada kemampuan lain yang tidak lagi saya butuhkan.

Nanti, jika proses ini sudah saya lewati, seharusnya saya tidak lagi takut untuk menghadapi kehancuran dalam bentuk apapun. Selama saya masih bernapas, masih menjalani hidup yang dikaruniai oleh-Nya, bisa saja kehancuran itu berarti kesempatan baru untuk mengulang kembali segala sesuatunya dari awal dengan versi yang baru dari diri saya. A new beginning, if you will. Yang perlu saya lakukan ketika menemui kehancuran, ternyata, ‘hanya’ mengusahakan agar versi baru diri saya itu lebih baik dari diri saya di versi sebelumnya.

Ternyata, begitu beruntungnya saya sebagai seorang wanita karena memiliki momen monumental nan mewah yang mengharuskan diri saya untuk bertransformasi menjadi diri saya yang jauh lebih baik.

Bismillahirahmanirrahim. Semoga semua wanita yang membaca tulisan ini dimudahkan untuk terus memperbaiki diri.

Namaste,

Dyah Synta

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s