Olahraga Garis Dua

Perjalanan saya untuk mengandung Aya dimulai dari tahun 2015 ketika saya mengalami kehamilan yang tidak beruntung. Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini [link], tapi singkatnya, saat itu kehamilan saya harus diakhiri karena janin mengalami gastroschisis ectopiacordi.

Kejadian itu merupakan ‘pukulan’ yang lumayan dahsyat untuk saya dan Fikri. Saya pribadi menghabiskan waktu cukup lama dalam kondisi menyalahkan diri sendiri atas setiap pilihan kurang baik yang pernah saya lakukan di masa lalu. Saya rasa, begitulah efek dari pengalaman kehamilan yang berakhir tidak sesuai dengan harapan—apalagi jika penyebabnya tidak bisa dijelaskan dan hanya bisa diterima dengan lapang dada. Melapangkan dada setelah menyebabkan satu ‘korban jiwa’ tidak berdosa itu yang sulit sekali untuk dilakukan. Apakah ini adzab? Apakah ini cobaan? Sebenarnya ini konsekuensi dari kesalahan yang mana yang pernah saya perbuat? Ada ribuan pertanyaan yang muncul di kepala setiap hari, tapi lebih banyak yang tidak ada jawabannya daripada yang ada jawabannya. Semua sudah ketetapan Allah SWT.

Setelah kembali tenang dan ‘waras’, untungnya, saya dan Fikri tidak sulit untuk menyepakati langkah yang akan kami ambil untuk mencoba memiliki keturunan lagi.

Pertama, saya dan Fikri sepakat untuk tidak menyalahkan salah satu pihak di antara kami berdua. Sebagaimana keterangan dari dokter-dokter yang menangani, ketidakberuntungan kehamilan kami tidak diketahui apa penyebab pastinya. Jadi, jika kami saling menyalahkan salah satu dari kami—baik secara terang-terangan maupun di dalam hati—bukan hanya tidak akan ada gunanya, tapi malah merugikan diri sendiri karena menghilangkan kedamaian dalam rumah tangga.

Kedua, kami sepakat untuk berusaha menjadi sehat—sesehat-sehatnya yang kami bisa—sebelum mencoba untuk kembali hamil. Untuk Fikri, ini berarti dia akan menjalani treatment untuk hipertiroid dengan sebaik-baiknya, dan untuk saya, ini berarti saya—yang akan menjadi ‘tanah’ tempat ditanamkannya janin kami—akan berusaha menjalani gaya hidup yang sebaik-baiknya.

Apakah usaha ini pasti akan mengurangi resiko kami mengalami kehamilan yang tidak beruntung? Tidak juga. Karena—lagi-lagi—ketidakberuntungan dalam kehamilan itu tidak selalu bisa dijelaskan apa penyebabnya. Karena itu, tidak selalu bisa dijelaskan juga cara pasti untuk mencegahnya. Keputusan untuk menyehatkan diri itu kami ambil lebih dengan tujuan untuk mengurangi rasa bersalah kalau-kalau kami mengalami kejadian tidak mengenakkan lagi.

Usaha menyehatkan diri inilah yang membuat kami membutuhkan waktu sekitar enam tahun sampai akhirnya kembali mengandung. Nggak, sih. Sebenarnya, kami sudah mulai melakukan pemeriksaan dan rencana hamil sejak awal tahun 2020. Tapi sebagaimana rencana banyak orang, nasib rencana kami pun kami putuskan untuk ditunda karena pandemi yang melanda dunia.

(Jadi sebenarnya masa persiapan yang kami lakukan secara ‘sadar’ hanya selama lima tahun, ya. Satu tahunnya lagi force majeur 😂)

Lima tahun itu bahkan lebih lama dari waktu yang saya butuhkan untuk lulus dari prodi S1. Kalau ada yang bertanya apakah memang butuh waktu selama itu untuk mengadaptasi gaya hidup sehat, saya akan jawab dengan yakin: iya. Bahkan—untuk orang-orang seperti saya yang mulanya sangat awam tentang pola hidup sehat—mungkin butuh lebih.

Dalam lima tahun itu, pembelajaran saya dimulai dari mencoba mencintai olahraga. Di aspek ini, musuh terbesar saya adalah kebiasaan dalam melihat segala sesuatu secara hitam dan putih, benar dan salah. Saya banyak bertanya dan membaca tentang cara, jenis, durasi, intensitas, dan variasi olahraga yang baik, benar, dan menyehatkan. Untuk mencari tahu tentang ini saja sudah membutuhkan waktu yang tidak sedikit, karena nyaris setiap sumber memberikan jawaban dan formula yang berbeda-beda.

Tapi yang justru memakan waktu paling banyak adalah yang harus saya lakukan setelahnya, yaitu setelah saya mengetahui bahwa pola olahraga yang terbaik untuk saya ya harus saya yang cari tahu dan ciptakan sendiri. Ini salah satu yang membuat perjalanan saya untuk sehat jadi lebih sulit daripada perjalanan saya untuk lulus sekolah: karena mencontek bukan hanya tidak bisa membuat segalanya jadi lebih mudah, tapi justru bisa membuat apa yang seharusnya berjalan baik malah berjalan dengan buruk 🥲 Alasannya jelas: karena ‘jawaban’ untuk tubuh saya tidak pernah ada pada tubuh orang lain.

Akhirnya, usaha saya untuk mencintai olahraga malah ‘memaksa’ saya untuk belajar mencintai diri sendiri, mengetahui siapa itu ‘Dyah Synta’. Apa yang sebenarnya saya sukai, apa yang sebenarnya bisa saya lakukan dengan baik, apa yang perlu saya perbaiki, apa yang sedang saya jalani, apa yang pernah saya alami, dannn masih banyak lagi. Untungnya, ketika itulah saya mulai mengikuti teacher’s training untuk menjadi pengajar yoga. Setelah dikenalkan dengan ilmu chakra dan Ayurveda, kedua ilmu itulah yang saya jadikan landasan untuk memetakan diri saya sendiri.

Dalam perjalanannya, semakin saya mencari ilmu untuk menemukan formulasi olahraga yang bisa menyehatkan diri saya, semakin saya dipertemukan dengan alasan yang membenarkan langkah ini sebagai bagian dari usaha saya untuk berbadan dua. Ketika itu, saya banyak juga membaca artikel seputar kehamilan. Sebagian besar dari artikel-artikel itu—apapun judul dan topik bahasannya—selalu menyebutkan hal yang sama untuk dapat mengusahakan kehamilan yang minim kesulitan dan komplikasi:

Berolahraga saat hamil

Salah satu alasan terkuatnya—menurut saya—adalah karena sebagian besar ketidaknyamanan yang muncul saat hamil adalah akibat dari gejolak perubahan hormon. Olahraga sudah sejak lama diketahui sebagai terapi hormon yang termudah, terpraktis, termurah. Saya dan Fikri pun (mungkin) akhirnya mengalami manfaatnya. Selama mengandung Aya, saya tidak mengalami kesulitan tidur, nyeri lower back, atau kaki bengkak. Selain itu, penambahan bobot saya relatif normal (meskipun di perbatasan 😂), yaitu 15 kg, dan Fikri mengakui bahwa moodswing saya selama hamil sangat jauh dari yang dia dengar dialami oleh teman-temannya. Urusan moodswing ini dibuktikan juga dengan kuliah S2 saya yang bisa berjalan lancar, nyaris tidak terkendala oleh kehamilan selama dua semester yang sudah saya jalani. Satu lagi, meskipun di trimester awal saya mabuk dan mual, saya tidak pernah muntah.

Mungkin tidak banyak yang akan percaya akan hubungan sebab-akibat antara semua kemudahan ini dan rutinitas olahraga yang saya lakukan selama hamil. Tapi saya, sih, merasa semua kemudahan itu muncul karena saya tetap rutin berolahraga selama hamil.

Masalahnya, melakukan olahraga dalam kondisi hamil itu spesial sekali rasanya 🤣 Setelah menjalaninya, saya kini yakin bahwa memulai rutinitas olahraga dalam kondisi hamil adalah hal yang membutuhkan keajaiban. Karena itu, berolahraga secara rutin sebaiknya diusahakan sejak sebelum hamil. Logikanya, jika dalam kondisi seluruh hormon stabil dan tidak bergejolak saja saya sulit dan malas untuk berolahraga, apalagi ketika hamil–saat napas sudah lebih pendek-pendek tubuh jauh lebih berat untuk digerakkan, dan hormon-hormon itu berfluktuasi dengan dahsyatnya, ya kan?

Lagipula, rutinitas olahraga yang baik untuk dilakukan ketika hamil itu sebenarnya hanya satu kata kuncinya: merupakan versi ringan dari olahraga yang sudah rutin dilakukan. Kalau saya lebih suka menyebutnya sebagai versi yang lebih menyenangkan—karena tidak terasa melelahkan, tapi tetap menghasilkan hormon endorfin yang menggembirakan. Karena itu, yang penting untuk dimiliki sebagai ‘modal’ adalah rutinitas olahraganya dulu, baru kemudian disesuaikan intensitas dan volumenya.

Untuk saya sendiri, rutinitas olahraga yang biasa saya lakukan sebelum hamil setiap minggunya adalah:

  • Satu sesi olahraga dengan intensitas ringan selama 60 menit (biasanya berupa yoga, atau belakangan, saya sempat menyukai kelas barre online)
  • 3-5 sesi weight training dengan intensitas sedang
  • 3-5 sesi olahraga kardio dengan intensitas rendah
  • Catatan tambahan: sebelum hamil, sesi mengajar yoga (baik online maupun offline) tidak saya hitung sebagai sesi olahraga pribadi

Rutinitas ini, ketika hamil saya sesuaikan menjadi:

  • 3x seminggu yoga selama 60 menit berupa sesi mengajar secara online (yang lebih mengharuskan saya untuk ikut melakukan gerakan sambil mengajar dibandingkan dengan kelas offline)
  • 3x seminggu sesi kardio & weight training dengan intensitas ringan

Perlu dicatat bahwa dalam kondisi hamil (dengan bobot yang bertambah dan irama napas yang berubah), olahraga yang mulanya terasa ringan dapat terasa lebih melelahkan. Untuk membantu saya mendeteksi tingkat intensitas dari olahraga yang saya lakukan, saya selalu berolahraga dengan mengenakan heart rate monitor berbentuk chest strap ini [link].

Menurut saya, kehamilan adalah pengalaman yang sangat mengusik keseimbangan jiwa, akal, dan raga. Tapi ini tidak lantas berarti saya harus maklum dan pasrah saja ketika perasaan, pikiran, dan tubuh saya terasa tidak berfungsi seperti biasanya. Melakukan olahraga merupakan salah satu ikhtiar saya. Kalaupun tidak bisa menormalkan segala sesuatu di dalam diri saya, paling tidak dengan tetap berolahraga saya tetap memiliki sensitivitas yang saya perlukan untuk mengetahui apa yang sedang berubah di dalam diri saya dan bagaimana sebaiknya saya menyikapinya.

Alhamdulillah, cita-cita dan usaha saya dan Fikri untuk menjalani kehamilan dalam kondisi tersehat yang pernah kami jalani selama kami hidup dapat dikatakan berhasil (paling tidak, oleh kami berdua 😜). Sebagai bonus, saya juga menjalani kehamilan dalam kondisi paling mengenal dan memahami kebiasaan-kebiasaan yang sehat dan yang kurang baik untuk jiwa, akal, dan raga saya.

Ternyata semua adalah tentang kemauan untuk terus belajar mendengarkan, latihan untuk terus menjadi lebih aware tentang diri sendiri dari hari ke hari. Mudah-mudahan perjalanan ini tidak berhenti hanya sampai di sini saja, karena saya ingin semakin Aya tumbuh besar, saya pun juga semakin berkembang menjadi manusia yang lebih baik–untuk Aya, dan untuk saya sendiri tentunya 🙂

Namaste,

Dyah Synta

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s