Untuk sekitar tiga puluh tujuh minggu lamanya, 18 Juni 2022 menjadi tanggal yang saya nantikan. Menurut perhitungan hari pertama menstruasi terakhir, pada tanggal inilah saya akan melahirkan seorang anak ke dunia. Tapi tentu, perhitungan dan penantian manusia pada akhirnya hanyalah perkiraan ketidakpastian semata. Kenyataannya, saya membawa sebuah nyawa ke dunia delapan belas hari yang lalu.
Minggu, 29 Mei 2022
Memasuki minggu ke-37 kehamilan, saya dan Fikri yang memang berencana untuk melahirkan di Jakarta berangkat pada hari ini. Karena saya akan terus tinggal di Jakarta sampai beberapa bulan setelah melahirkan, jadi pada hari ini kami meniatkan untuk memindahkan seluruh barang-barang saya dari Bandung. Barang-barang Fikri dibawa secukupnya dulu saja, karena dia masih berencana untuk menyelesaikan kepindahannya dalam beberapa minggu ke depan.
Sepanjang jalan, kami mengobrol dan bercanda seperti biasa. Saya masih beberapa kali mengeluarkan candaan seputar kepulangan Mesut Özil dari Jakarta, karena selama dia berada di Jakarta entah berapa banyak teman yang mengirimkan pesan berisi candaan seputar itu kepada kami berdua. Hari ini, ketika Mesut Özil sudah bertolak dari Jakarta, Fikri justru baru menuju ke sana 😂
Yang sedikit membuat saya nervous adalah ketika perut saya terasa tidak nyaman saat kami memasuki jalan tol dalam kota Jakarta. Memang, beberapa hari belakangan, setiap kali saya terlalu lama berada dalam posisi duduk, perut saya terasa sangat tidak nyaman. Mungkin Braxton Hicks. Setiap kali saya mengatur napas dan berjalan kaki sedikit, ketidaknyamanan itu berkurang atau malah hilang samasekali. Kali ini, karena masih berada di dalam mobil, tentu saya tidak dapat melakukan apa-apa. Usaha mengatur napas pun tidak terlalu membantu. Untuk pertama kalinya, saya merintih karena sakitnya perut saya. Saat sampai di rumah orang tua saya dan turun dari mobil, rasa sakit itu juga masih ada. Ibu saya pun langsung menunjukkan raut wajah khawatir–yang justru membuat saya merasa semakin tidak nyaman 🙈
Saya berusaha menenangkan diri dengan mengingat bahwa saya dan Fikri sudah berencana untuk kontrol ke RS Brawijaya Duren Tiga keesokan harinya. Jika memang ada kegawatan atau hal lain, mudah-mudahan dapat segera diketahui.
Malam itu, saya dan Fikri tidur di dalam kamar dengan koper-koper berisi barang-barang pindahan saya yang tergeletak tak beraturan. Saya sampaikan ke ibu saya bahwa besok siang, sepulang dari rumah sakit, saya akan membutuhkan bantuan untuk membereskan barang-barang tersebut.
Senin, 30 Mei 2022
Saya dan Fikri berangkat menuju ke rumah sakit sekitar pukul 09:00. Karena mendapat nomor antrean awal, tidak perlu waktu lama untuk menunggu sampai kami berjumpa dengan dr. Linda Lestari dan menceritakan kondisi kehamilan dan kepindahan kami dari Bandung.
Sejak awal kehamilan, kondisi yang paling mengkhawatirkan untuk kami adalah berat badan janin yang nyaris selalu kurang dari yang seharusnya, begitu pula dengan ukuran lingkar perutnya yang selalu lebih kecil daripada usianya. Saya dan Fikri sudah berbulan-bulan berusaha memaksimalkan asupan protein, tapi hanya dua kali kami berhasil mencapai target berat badan janin pada setiap pertemuan dengan dokter kandungan di Bandung. Setelah memeriksa dengan USG, dr. Linda pun menyampaikan beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab terhambatnya pertumbuhan janin yang kami alami, serta langkah-langkah terbaik yang bisa diambil. Kecurigaan beliau adalah kurang lancarnya lalu lintas nutrisi lewat plasenta. Saat itu, dr. Linda menyampaikan kemungkinan pengambilan tindakan pada hari Kamis (2 Juni 2022), tapi beliau menyarankan kami untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis fetomaternal terlebih dahulu.
Menyadari bahwa kondisi kehamilan saya ternyata butuh perhatian yang begitu serius, saya dan Fikri pun memutuskan untuk bertemu dokter fetomaternal hari itu juga. Untungnya, hari itu ada jadwal praktek dr. Laksmi pada pukul 14:00. Sambil menunggu, dr. Linda menyarankan saya untuk melakukan tes CTG (kardiotokografi) dan mendapatkan suntikan obat pematang paru di IGD.
Ketika akhirnya bertemu dengan dr. Laksmi pada sekitar pukul 16:00, hal pertama yang disampaikan oleh dr. Laksmi adalah bahwa hasil tes CTG menunjukkan saya sudah mengalami kontraksi 😬 Sejujurnya, sepanjang hari itu saya tidak merasakan ketidaknyamanan pada perut saya samasekali. Dibandingkan dengan nyerinya ‘kontraksi’ yang saya rasakan sehari sebelumnya saat dalam perjalanan menuju ke rumah orang tua saya, hari itu perut saya terasa biasa-biasa saja–bahkan cenderung nyaman.
Setelah melakukan USG, dr. Laksmi pun menegaskan kembali hasil diagnosis yang disampaikan oleh dr. Linda. Ketika dr. Laksmi menyampaikan ini, saya teringat bahwa ketika buang air saat menunggu giliran bertemu dr. Laksmi, saya menemukan sedikit keputihan. Dr. Laksmi pun meminta izin untuk melakukan pengecekan dalam, dan terungkaplah bahwa saat itu saya sudah memasuki bukaan 2 alias sekitar 2 cm. Karena kondisi ini, dr. Laksmi menyarankan kami untuk kembali bertemu dengan dr. Linda hari itu juga. Kemungkinan tindakan yang dapat diambil adalah induksi atau caesar–tapi yang jelas, harus dalam waktu dekat karena air ketuban saya pun sudah berkurang.
Sambil kembali menunggu dr. Linda, saya yang mulai merasa lapar memutuskan untuk makan. Seorang suster yang menemani kami lalu menyampaikan:
“Iya Bu, makan aja dulu. Karena kalo tindakannya harus diambil malam ini juga, berarti setelah ini Ibu sudah harus puasa.”
🙃
Makanan saya belum habis ketika akhirnya kami bisa bertemu lagi dengan dr. Linda. Tentu saja saya memilih untuk sesegera mungkin mendengar penjelasan dr. Linda daripada menghabiskan makanan saya, hehe. Toh, makanan seenak apapun pasti sama-sama terasa hambar dalam kondisi penuh kekagetan dan ketidakpastian yang saat itu sedang kami alami.
Untungnya, dr. Linda menjelaskan segala sesuatunya dengan tenang dan sangat informatif. Beliau menyampaikan bahwa dengan adanya hambatan pada aliran nutrisi melalui plasenta, proses melahirkan secara normal akan menjadi terlalu beresiko untuk kelangsungan hidup janin. Dikhawatirkan, ketika memasuki bukaan aktif (bukaan 4 dan seterusnya), kontraksi hebat yang terjadi justru akan benar-benar ‘mematikan’ aliran nutrisi ke janin. Maka pilihan yang disarankan adalah sectio caesaria, secepatnya, sebelum memasuki fase bukaan aktif tersebut.
Saat itu–ketika akhirnya kami diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit–sudah sekitar pukul 19:00. Kami ditunggu untuk kembali masuk ke ruang rawat inap pada pukul 20:00, dengan tindakan caesar terjadwal pada pukul 11:00 keesokan hariinya. Dengan berusaha untuk tidak membayangkan barang-barang yang masih berada di dalam beberapa koper besar harus langsung disortir untuk dimasukkan ke dalam satu tas untuk dibawa ke rumah sakit, saya dan Fikri bergegas pulang.
Selasa, 31 Mei 2022
Saya dibangunkan oleh alarm di kamar rawat inap pada pukul 04:15 untuk sarapan, karena pukul 05:00 saya sudah harus mulai puasa. Saya kurang tidur karena sampai sekitar pukul dua pagi saya masih mengobrol dengan Fikri–kegiatan sederhana yang selalu bisa menenangkan saya dan ‘meluruskan’ kembali berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam kepala. Saya berusaha tidak terlalu memikirkan apa saja yang akan terjadi hari itu, atau perubahan apa yang akan saya dan Fikri alami. Saya hanya berusaha menjalani sebaik-baiknya, sesadar-sadarnya, satu per satu, apa-apa yang harus saya lakukan sebelum masuk ke ruang operasi. Tapi akhirnya, sekitar pukul 09:00, saya mulai gugup dan mengirimkan pesan singkat ke sahabat saya:
“Dua jam lagi aku jadi ibu.”
Saya memasuki ruang operasi sekitar pukul 10:00. Berganti pakaian, mengobrol sedikit dengan para suster dan dokter anestesi, dan berusaha menenangkan diri dengan sejuta pikiran positif dan kalimat do’a. Fikri tidak diperbolehkan untuk menemani saya di ruang operasi, jadi dia mungkin merasakan kekhawatiran yang lebih besar di tengah ketidaktahuan di luar ruang operasi.
Pukul 11:15, dr. Linda memasuki ruang operasi. Saya sudah dalam keadaan terbius lokal, tapi masih bisa menanggapi obrolan para suster dan dokter. Segala sesuatunya terasa berjalan begitu cepat sampai dr. Linda mengeluarkan seorang bayi dari perut saya. Dengan diiringi tangisannya yang kencang, dr. Linda menyebutkan nama yang sudah disiapkan oleh saya dan Fikri untuknya.
“Kanaya ❤”

Saya melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 11:40 ketika Kanaya diletakkan di atas tubuh saya untuk inisiasi menyusui dini. ASI saya mengalir tanpa masalah–satu hal yang sudah saya ketahui sejak beberapa minggu sebelumnya. Para suster yang ada di ruang operasi ikut mensyukuri hal ini, mungkin karena mereka melihat betapa kecilnya ukuran Aya saat keluar dari rahim saya. Jauh lebih kecil daripada janin berusia 37 minggu pada umumnya.
Beberapa saat kemudian, dr. Linda menyampaikan sebuah penemuan yang memecahkan pertanyaan besar seputar terhambatnya aliran nutrisi ke Aya selama masa kehamilan. Ternyata, tali pusat Aya tidak terhubung ke dalam plasenta, tetapi hanya terhubung dengan selaput di bagian luar plasenta saja. Istilah medisnya adalah velamentous placenta. “Tidak bisa diapa-apakan, memang sudah dari sananya,” kata dr. Linda saat menjelaskan kepada Fikri di luar ruang operasi. Saya merasa lega karena mendapatkan jawaban, meskipun jadi kembali bertanya-tanya mengapa harus kembali mengalami kehamilan yang tidak biasa-biasa saja 😅 Entah apa rencana atau pelajaran yang disiapkan Allah SWT kepada saya dan Fikri di balik semua ini.
Saya lalu dipindahkan ke ruang observasi untuk pemulihan pasca operasi yang sebagian besar saya habiskan untuk tidur. Tubuh saya terasa lemas dan lelah luar biasa.
Hari Kamis tanggal 2 Juni 2022 adalah hari yang saya tunggu-tunggu karena hari itu saya diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Berjuta syukur saya ucapkan hari itu, karena Aya tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan samasekali–meskipun berat badannya memang kecil. Kadar bilirubinnya berada dalam rentang normal, penurunan berat badannya tidak sampai 10% dari berat lahir, dan proses menyusui selama di rumah sakit pun berjalan dengan relatif baik tanpa kendala. Saya dan Aya diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit bersama-sama–sungguh terasa begitu mewah untuk saya.
Sejak hari lahirnya sampai hari ini–hari di mana Aya seharusnya lahir–saya tidak berhenti diberikan alasan untuk bersyukur… sekaligus untuk mengeluh. Saya masih kagum pada begitu besarnya energi yang dibawa Aya ke dunia ini, memantik terjadinya begitu banyak perubahan dalam hidup saya–bahkan pada aspek-aspek di dalam diri saya yang mulanya saya kira tidak akan bisa berubah.
Ada banyak hal yang bisa saya persiapkan dengan lebih baik dalam waktu delapan belas hari. Jika melihat kebiasaan saya dalam menyelesaikan tugas kuliah, deadline yang dimajukan delapan belas hari biasanya akan membuat saya tidak mengumpulkan apa-apa–berhubung saya bisa begitu mencintai habit menjadi seorang deadliner 🤣 Sedikit tidak masuk akal bagaimana perjalanan saya sebagai seorang ibu yang harus dimulai 18 hari lebih awal daripada yang saya persiapkan, ternyata bisa berjalan dengan… lumayan baik-baik saja.
Tidak. Bahkan lebih daripada itu. Sejak awal kehamilan, ada begitu banyak hal yang–jika dilihat dengan mata manusia dan diproses melalui logika manusia–akan membuat kehamilan saya begitu menderita atau sulit. Ternyata, satu-satunya hal yang tidak berjalan dengan baik bukanlah salah satu dari aspek-aspek yang sebelumnya membuat banyak orang pesimis. Bukan kesibukan baru saya sebagai mahasiswa S2, bukan aktivitas olahraga saya, bukan pula pekerjaan saya sebagai pengajar yoga.
Yang akhirnya saya pelajari dari dua pengalaman kehamilan saya adalah ada begitu banyak aspek yang bisa berjalan dengan buruk dalam sebuah kehamilan. Begitu banyak hal yang tidak bisa dikendalikan oleh siapa-siapa, begitu banyak keajaiban yang bisa terjadi, dan begitu banyak pula kemalangan yang bisa menimpa. Proses mengandung dan melahirkan Aya–untuk saya pribadi–adalah sebenar-benarnya ruang kuasa kehendak Tuhan. Tidak ada satu kemudahan atau kelancaran pun yang terjadi karena kecermatan usaha atau kecerdasan antisipasi saya, Fikri, atau siapapun. Semua adalah semata-mata kuasa-Nya.
//www.instagram.com/embed.js