Setelah Menonton Film “Soul”

Beberapa hari lalu, saya mendapatkan SMS dari Telkomsel yang berisi ucapan selamat karena saya mendapatkan kesempatan untuk berlangganan Disney+ HotStar tanpa biaya selama satu bulan. Karena sudah cukup lama menimbang-nimbang untuk berlangganan tapi tidak juga merasa cukup termotivasi untuk benar-benar berlangganan, kesempatan ini akhirnya saya manfaatkan tanpa pikir panjang. Apalagi, saya akhirnya mulai merasa bosan untuk melakukan rutinitas jalan pagi dan ber-skincare-ria sambil menonton serial langganan saya di Netflix: Friends 😆 Sambil mengingat-ngingat film dan serial Disney apa saja yang selama ini membuat saya penasaran, saya langsung mengaktifkan keanggotaan.

Hari ini adalah hari keempat sejak saya mengaktifkan akun langganan saya, dan sejauh ini, saya bukan hanya merasa mendapatkan variasi hiburan, saya merasa mendapatkan sesi terapi sekaligus meditasi gratis.

Sepertinya sudah merupakan info yang tidak lagi baru jika saya menyatakan bahwa Disney Pixar adalah satu perusahaan yang menghasilkan film-film berkualitas. Tidak hanya kualitas gambar dan penggunaan teknologinya yang luar biasa, alur cerita, kompleksitas penokohan, dan pesan yang disampaikan dalam setiap filmnya–baik yang berdurasi penuh maupun singkat–selalu bisa menyentuh perasaan para penontonnya.

Tapi kali ini, sensasi yang saya rasakan berbeda dari biasanya.

Mungkin karena saya sendiri sedang mendekati waktu datang bulan, sehingga sedang lebih sensitif dan perasa. Tapi ketika menyelesaikan film Soul pagi ini, saya bukan hanya merasa terharu dan terenyuh–saya merasa menjadi jauh lebih sehat dan lebih ‘ringan’.


Pagi ini, saya bangun dari tidur dengan semangat untuk menelusuri salah satu situs e-commerce. Tujuan besar saya adalah untuk menemukan pakaian yang cantik untuk saya gunakan di hari Lebaran–jika saya menemukan juga baju koko yang sepasang untuk digunakan oleh suami saya, maka sempurna! Tapi ternyata, setelah sampai pada artikel pakaian kesekian dan merasa tidak kunjung mendapatkan item yang cocok di hati, saya lebih memilih untuk menyalakan komputer dan menonton film dulu sambil menunaikan rutinitas skincare pagi. Saya terlalu lelah membayangkan padu padan yang cantik untuk hari raya yang belum tentu bisa benar-benar dirayakan seperti di waktu normal dulu.

Karena semalam saya baru menamatkan film Inside Out dan merasa terpukau, pagi ini saya ingin menonton film Disney Pixar lainnya yang sudah sejak lama membuat saya penasaran: Soul–judul yang beberapa bulan lalu sempat ramai mondar-mandir di timeline Twitter dan InstaStory teman-teman saya.

Singkat kata, satu jam dan empat puluh menit setelah memutuskan untuk menontonnya, di sinilah saya–di hadapan layar komputer dengan jari-jari di atas tuts keyboard. Pikiran saya tidak lagi dipenuhi dengan foto-foto baju-baju Lebaran yang sempat menghiasi imajinasi saya dengan cantik. Yang ada di pikiran saya hanya… saya ingin menulis.

Ribuan kali rasanya saya mengungkapkan betapa saya merasa beruntung karena menjalani profesi yang sejalan dengan hal yang membuat saya bahagia, yaitu beryoga. Menjadi guru yoga tidak hanya membuat saya merasa bersemangat karena saya memang menikmati berolah raga, tapi juga membuat saya merasa bermanfaat dan ‘membuka’ mata saya akan hal-hal yang sebelumnya seakan-akan saya abaikan begitu saja dalam hidup. Saya senang menjadi pengajar yoga dan selalu berusaha untuk menjadi pengajar yoga yang lebih baik dari hari ke hari.

Tapi menonton film Soul membuat saya menyadari satu kekeliruan besar yang saya lakukan, terutama dalam bagaimana saya menjalani profesi ini.

Tanpa saya sadari, saya lalu membenarkan semua langkah yang diambil oleh Joe untuk mengembalikannya ke dunia–karena saya merasa itulah hal yang pantas diperolehnya.

Ketika menyaksikan film Soul, saya menyadari bagaimana saya terkejut dan sangat menyayangkan ketika tokoh Joe Gardner mengalami kecelakaan hanya beberapa menit setelah ia memperoleh momen yang menandai awal kesuksesan kariernya sebagai pianis jazz. Tanpa saya sadari, saya lalu membenarkan semua langkah yang diambil oleh Joe untuk mengembalikannya ke dunia–karena saya merasa itulah hal yang pantas diperolehnya.

Dia begitu mencintai piano, dia pantas mendapatkan panggung besarnya, dia pantas menanjaki tangga menuju kesuksesan sebagai seorang pianis ternama, bahkan mungkin pantas untuk menjadi salah satu nama besar dalam dunia musik jazz–begitu kurang lebih isi kepala saya. Saya begitu ‘berpihak’ kepadanya sambil sesekali tertawa karena menyaksikan tingkah si Twenty-Two, sampai saya mendengar tokoh Terry mengeluarkan kalimat yang tidak mau saya dengar:

“Joe! You cheated.”

Untuk saya pribadi, momen itu menandai satu titik di dalam film tersebut di mana saya–sebagai penonton–dikembalikan kepada kenyataan setelah selama beberapa menit rela terbawa dalam dunia khayalan Soul. Momen itu yang lalu membuat saya menyadari betapa saya–dalam bentuk yang berbeda–sebenarnya berada dalam kondisi yang serupa dengan Joe: saya menjalani pekerjaan yang saya sukai, tapi terus-menerus membiarkan diri saya ‘tergoda’ untuk tidak mensyukuri apa yang saya miliki–hanya karena menanti ‘momentum’ yang belum kunjung terjadi juga.

Seketika saya sadar bahwa selama ini saya terus mencari-cari momentum yang akan mendefinisikan kesuksesan dan keberhasilan untuk diri saya dan pekerjaan saya. Joe Gardner yang–menurut saya–memperoleh momentum ini, seketika membuat saya langsung ‘membelanya’. Saya begitu berpihak kepadanya tanpa peduli bahwa momentum itu menciptakan gaya yang begitu besar dalam diri Joe sampai ia mengizinkan dirinya untuk kehilangan fokus pada sekelilingnya. Ia tidak memperhatikan proyek pembangunan, mengabaikan keberadaan anjing sampai hampir tertabrak motor, sampai tidak menyadari adanya lubang di jalan yang akhirnya mencabut nyawanya.

Bukan nasib baik yang tidak berpihak kepadanya, bukan juga Tuhan (…atau dalam hal ini, penulis skenario) yang tidak adil dalam menentukan takdirnya, tapi karena Joe membiarkan satu momentum ini ‘menyerap’ seluruh energinya selama ia hidup.

Ya, Joe kehilangan nyawanya karena momentum yang selama ini ia tunggu-tunggu. Bukan nasib baik yang tidak berpihak kepadanya, bukan juga Tuhan (…atau dalam hal ini, penulis skenario) yang tidak adil dalam menentukan takdirnya, tapi karena Joe membiarkan satu momentum ini ‘menyerap’ seluruh energinya selama ia hidup. Pada akhirnya, ketika momentum ini menjadi terlalu kuat, bahkan Joe pun tidak siap untuk menerimanya. Dalam sekejap mata, ia kehilangan pijakannya dalam hidup, kehilangan pula energi untuk mempertahankan ‘kewarasan’ sampai akhirnya mengupayakan segala hal untuk mencurangi takdirnya sendiri. He cheated, indeed.


Film Soul tidak menghilangkan keinginan saya untuk menjadi sukses atau mencapai keberhasilan–paling tidak, sampai detik ini belum. Tapi saya jadi merasa disadarkan untuk tidak terlalu banyak menginvestasikan energi, daya, waktu, dan pikiran saya untuk sesuatu yang belum terjadi.

Selama ini, saya berusaha menerapkan konsep ‘be here now’ yang saya pelajari dari Ronan Tang untuk melindungi saya dari kekhawatiran atau ketakutan berlebih akan hal-hal yang belum terjadi. Hari ini, Soul menyadarkan saya bahwa mantra tersebut seharusnya juga menjadi pelindung saya dari kemelekatan berlebih pada segala sesuatu yang masih saya harapkan untuk terjadi. Kemelekatan ini yang–saya akui–masih sering menjerumuskan saya untuk tidak berpijak pada titik ini dan melakukan usaha terbaik yang bisa saya lakukan saat ini.

Hari ini, Soul menyadarkan saya bahwa mantra tersebut seharusnya juga menjadi pelindung saya dari kemelekatan berlebih pada segala sesuatu yang masih saya harapkan untuk terjadi.

Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah ketika mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan sesuatu tentang yoga. Beberapa kali, saya tidak melakukan upaya terbaik dalam mencapai pemahaman terbaik pada lawan bicara saya. Karena berasumsi ketertarikannya pada yoga tidak akan bertahan lama, saya malah lebih sibuk menginvestasikan energi untuk mengharapkan lawan bicara yang lebih antusias, yang sudah memiliki paling tidak sedikit pemahaman tentang kebugaran, atau yang lebih berwawasan. Pada akhirnya, ketika mendapatkan lawan bicara yang memenuhi ‘kualifikasi’ saya ini, ternyata obrolan kami tidak berjalan sebegitu menyenangkannya juga.

Begitu pula, saya seringkali berandai-andai untuk mendapatkan satu kesempatan mewah berbagi cerita ini dan itu di dalam kelas seputar pengalaman yang saya dapatkan dari yoga, tapi saya justru mengabaikan satu platform yang bisa saya manfaatkan untuk menceritakannya kapan saja, yaitu blog ini. Harapan saya pada kesempatan untuk memperoleh kelas yoga itu justru menghilangkan kesenangan saya dalam bercerita lewat kata-kata. Padahal, jika kelas itu nantinya ada pun, belum tentu saya diizinkan untuk berceloteh panjang lebar. Kalaupun saya diizinkan, belum tentu pesertanya akan tertarik untuk mendengarkan cerita saya. Mereka kan datang untuk beryoga, bukan untuk mendengarkan cerita saya 😆 Karena menyadari inilah, film Soul seketika langsung menggerakkan jari jemari saya untuk mengetik blogpost ini. Bagaimanapun terlihat tidak pentingnya, bercerita di blog ini adalah salah satu dari milyaran hal yang bisa membuat saya merasa benar-benar hidup.

Saya yakin sebagian besar teman-teman atau pembaca tulisan ini sudah lebih dulu berkesempatan menyaksikan film Soul. Tapi bagi yang belum, saya sangat menyarankan kalian menyisihkan sedikit waktu santai untuk menontonnya. Selain karena seluruh hal yang saya ceritakan panjang lebar tadi, jika ada di antara kalian yang–seperti saya–sempat mengikuti serial The IT Crowd, film Soul bisa mengobati sedikit kerinduan pada sosok ini:

Richard Ayoade yang mengisi suara Counselor Jerry B
Photo by Yusuf Laher (dudephotography) – https://www.flickr.com/photos/dudephotography/5510600348

Semoga tulisan ini memberi sedikit ide hiburan untuk mengisi waktu senggangmu selanjutnya, ya 😀

Namasté,

Dyah Synta

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s