Saya jarang sekali tidur lebih larut dari jam sebelas malam. Bahkan, biasanya ketika jam menunjukkan angka sembilan, saya sudah menyelinap masuk ke balik selimut untuk bersiap terlelap.
Tadi malam, hal ini tidak terjadi.
Karena suatu kejadian yang membuat saya merasa kesal dan marah, saya menghubungi seorang sahabat saya lewat telepon. Tentu, tanpa bermaksud melampiaskan segala kekesalan kepadanya, melainkan hanya karena saya merasa membutuhkan ‘kehadiran’ seseorang. Lagipula, setelah bertahun-tahun bersahabat, saya sudah sangat paham bahwa obrolan ngalor-ngidul dengannya adalah salah satu kegiatan yang bisa membuat saya merasa lebih waras dan menjejak bumi dengan lebih baik.
Obrolan kami berlangsung sampai hampir tiga jam lamanya. Setelah itu, Fikri menghampiri saya dan kami pun juga tenggelam dalam obrolan lain seputar keluh kesah saya yang sama. Tidak butuh waktu lama sampai obrolan kami lalu ‘melebar’ ke aspek-aspek kehidupan yang lain. Akhirnya, saya baru terlelap pukul setengah dua pagi.
Saya bukannya tidak paham bahaya yang bersembunyi di balik jam tidur yang terlalu larut. Mulai dari ancaman pada kesehatan jiwa karena hal tersebut bisa membuat saya tidak bangun untuk menunaikan solat subuh sampai ancaman pada kesehatan raga karena produksi growth hormone yang terhambat–saya paham. Tapi ketika pagi tadi saya terbangun dengan Fikri yang menertawai saya yang senyum-senyum sendiri saat tidur (saya ingat mimpi saya sangat membahagiakan, tapi saya lupa apa persisnya isi mimpi tersebut :lol:), saya merasa semua resiko itu–bagaimanapun terdengar tidak masuk akalnya–adalah worth it.
Salah satu hal yang saya rasa paling membebani sejak pertama kali saya memberanikan diri untuk menyandang predikat sebagai pengajar yoga–atau bahkan sejak beberapa tahun sebelumnya saya mulai sering membagikan pengalaman saya memperoleh medali-medali dari running races–adalah betapa predikat tersebut begitu lekat dengan kata sehat. Apalagi dengan semakin luas dan mudahnya informasi seputar kesehatan dan kebugaran diperoleh saat ini, butuh waktu panjang bagi saya untuk merasa benar-benar siap menerima pertanyaan-pertanyaan:
“Mbak Synta makannya dijaga nggak sih?”
“Kalo sehari-hari udah ngajar yoga gini, masih ikut kelas juga nggak, Mbak?”
“Mbak Synta mah kayaknya nggak makan Indomie ya?”
“Mbak, kalo pagi-pagi Mbak Synta selalu meditasi?”
dan sebagainya 😆
Orang-orang yang mengenal saya dengan baik pasti paham bahwa ketika lima tahun yang lalu mulai mengajar yoga, saya masih banyak memiliki kebiasaan yang bisa dengan mudah membuat orang lain ilfil—boro-boro kagum–terhadap saya ‘si pengajar yoga’. Saya masih sering mengonsumsi makanan-makanan yang kurang menyehatkan (meskipun–untungnya–saya memang bukan penggemar berat Indomie, sih 😉 ) bahkan masih suka bolong-bolong latihan dengan alasan sudah terlalu lelah mengajar ke sana-sini. Saya menyadari ada standar begitu tinggi yang harus saya penuhi untuk sekadar membuat saya merasa layak disebut sebagai pengajar atau bahkan seorang praktisi yoga, dan ketika itu saya masih sangat jauh dari standar tersebut.
Seingat saya, selama lima tahun terakhir saya tidak pernah berusaha mencitrakan bahwa saya adalah seorang yogi yang tanpa cela–if there’s such thing as that 😀 . Saya juga tidak pernah menargetkan untuk memenuhi seluruh standar itu dalam sekejap–seperti langsung bermeditasi satu jam setiap hari, beralih ke pola makan yang ‘yoga banget’, atau hal-hal lainnya.
Bukan berarti saya sudah merasa puas dengan diri saya sendiri atau merasa tidak ada yang perlu diperbaiki dalam diri saya untuk menjadi lebih baik sebagai seorang pengajar yoga. Lebih tepatnya, saya memilih untuk mengadopsi perubahan-perubahan menuju kebaikan itu dengan cara saya sendiri:
- Mengambil langkah yang kecil-kecil–bahkan saking kecilnya, mungkin tidak terlihat oleh siapa-siapa kecuali diri saya sendiri;
- memastikan bahwa saya sangat memahami apa yang saya tuju, namun mengizinkan diri saya untuk sesekali ‘beristirahat’.

Apa yang terjadi tadi malam adalah contoh nyata dari poin kedua. Dalam kasus lain, mungkin sama seperti bagaimana saya berusaha menjaga pola makan saya agar tidak memancing kumatnya asam lambung, namun juga tidak langsung menolak atau marah-marah ketika menerima oleh-oleh bakpia dari seorang teman.
Mungkin singkatnya, saya memilih untuk menaiki anak tangga satu per satu ketimbang langsung melompat ke puncak. Bahkan, saya juga mengizinkan kalau sesekali saya ingin duduk untuk istirahat dulu, dan menjulurkan kedua kaki sampai ke beberapa anak tangga yang lebih rendah. Saya tidak punya alasan yang terlalu keren atas pilihan ini selain karena saya paham bahwa pilihan inilah yang saya rasa paling masuk akal untuk saya yang memiliki kecenderungan anget-anget tai ayam. Tantangan terbesar saya sejak dulu bukan untuk menciptakan perubahan yang drastis atau dramatis dalam hidup, melainkan untuk mempertahankan energi saya supaya tidak habis di tengah jalan. Daripada menciptakan perubahan yang membuat orang lain tercengang atau berdecak kagum, saya memilih untuk bergerak perlahan sambil memastikan bahwa usaha saya untuk menjadi lebih baik tidak terhenti pada kondisi setengah matang.
Tahun 2021 ini berarti sudah sepuluh tahun berlalu sejak saya menginjakkan kaki ke dalam kelas yoga perdana yang saya ikuti. Saya masih saja belum memenuhi standar orang lain sebagai seorang praktisi apalagi pengajar yoga yang sempurna–karena bahkan tadi malam saya baru benar-benar tidur setelah lewat tengah malam. Meskipun begitu, saya bersyukur atas titik di mana saya berada saat ini. Tidak lain dan tidak bukan, karena saya merasa berhasil memenuhi standar yang saya terapkan untuk diri saya sendiri, yaitu berubah menjadi lebih baik, sedikit demi sedikit, setiap hari.
Akhir kata, saya juga sangat bersyukur atas obrolan tengah malam yang terjadi kemarin. Mudah-mudahan akan ada lebih banyak lagi obrolan yang membahagiakan hati saya di kemudian hari, tanpa harus mengorbankan kebahagiaan tubuh saya 😀
Semoga harimu juga diwarnai oleh obrolan yang menentramkan hati dengan mereka yang membuatmu bahagia.
Namasté,