Bullet Journaling di Masa Pandemi

Tiba-tiba ‘terpasung’ di dalam rumah selama berminggu-minggu tentu membawa banyak perubahan pada pola hidup. Saya yakin bukan hanya saya yang memiliki pengalaman demikian di masa-masa pandemi yang sekarang memasuki fase ‘entahlah’ ini. Tentu, perubahan yang terjadi tidak semuanya buruk dan tidak semuanya baik. Saya pribadi mengalami beberapa perubahan yang baik–seperti jadi memiliki lebih banyak waktu untuk beribadah selama Ramadan kemarin–tapi juga mengalami beberapa perubahan yang kurang baik–salah satunya, sempat mengabaikan keberadaan bullet journal saya selama beberapa minggu.

Karena sejak memulai bullet journaling pada Februari 2016 saya banyak memfungsikannya sebagai planner dan teaching log, pada awal-awal masa karantina saya merasa benar-benar tidak tertarik untuk menyentuhnya. Yang ada di pikiran saya saat itu:

‘Lha, buat apa? Orang sayanya aja nggak ngapa-ngapain, seharian cuma di rumah aja begini melototin YouTube sama Netflix.’

Seperti yang sebelumnya sudah saya ceritakan pada post ini [link], sejak merumahkan diri, bullet journal saya jadi lebih banyak berisi curahan isi hati dan isi kepala daripada menjalankan fungsi planning dan logging. Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk menemukan layout yang tepat untuk pengalihan fungsi utama ini, karena saya harus mengubah kebiasaan yang sudah bertahun-tahun saya lakukan. Format weekly spreads–yang sebelumnya menjadi andalan saya–kini terasa kurang leluasa, karena saya terus merasa kekurangan ruang untuk journaling, dan sebaliknya, merasa memiliki terlalu banyak ruang untuk rapid logging.

Salah satu layout weekly spreads yang sudah menjadi ‘langganan’ saya beberapa bulan terakhir sebelum masa pandemi

Selain itu, ketidakproduktifan saya di awal masa pandemi membuat saya menyadari bahwa meskipun saya tidak ke mana-mana ‘secara ruang’, saya tetap berfungsi selayaknya manusia ‘secara waktu’–dalam artian, saya tetap perlu membuat keberadaan saya di setiap waktu bermakna. Ketika menyadari inilah, saya merasa perlu menyematkan satu section yang mendukung hari-hari saya untuk berjalan dengan lebih terstruktur, yatu time table.

Format time table yang kini saya aplikasikan pada bullet journal saya setiap hari

Tentu saja saya tidak serta merta langsung menemukan cara yang tepat untuk mensinkronkan kebutuhan journaling dan time table ini dalam satu layout. Tapi sejak bulan Juni, saya menerapkan layout minimalis yang sederhana, minim dekorasi, namun menurut saya paling pas untuk saya terapkan untuk memenuhi kebutuhan diri saya saat ini. Tentu saya juga melengkapinya dengan ruang untuk menuliskan rasa syukur, karena saya tidak mau perasaan kehilangan suatu rutinitas menghilangkan kemampuan saya untuk bersyukur 🙂

Layout daily log yang saya gunakan di bujo saya sejak bulan Juni

Meskipun tidak selalu, tapi halaman di sebelah kanan setiap spread biasanya saya isi dengan hal-hal baru yang saya pelajari hari itu. Kadang, dalam bentuk note-taking seperti catatan di dalam kelas (tidak ada dokumentasi khusus untuk ini, karena berantakan sekali 😆 ), tapi sering juga hanya berupa kalimat dan quotes.

Tampilan keseluruhan dari daily log saya–yang kini bisa menjadi spread tersendiri 😀

Jika saya lebih memilih untuk menggunakan daily log daripada weekly spread, untuk monthly log, saya masih mempertahankan layout yang biasa saya gunakan.

Monthly log yang masih serupa dengan biasanya, hanya kini semakin ‘bersih’ dari elemen dekoratif

Saya juga masih mempertahankan halaman habit tracker sebagai bentuk motivasi untuk membentuk–atau mempertahankan–kebiasaan-kebiasaan baik. Menurut saya, justru saat-saat seperti sekarang inilah yang menjadi saat tepat bagi saya untuk memupuk kebiasaan baik baru yang sebelumnya hanya bisa saya angan-angankan karena ‘terjebak’ dalam alasan klasik: nggak ada waktu.

Halaman habit tracker untuk bulan Juli

Mungkin perubahan paling drastis pada bujo saya justru terjadi pada aspek dekoratifnya, ya? 😀 Dulu, saya selalu mengusahakan ada elemen pemanis yang menghiasi halaman-halaman bujo saya agar lebih menyenangkan untuk dilihat. Setidaknya, saya mengusahakan font khusus untuk menuliskan header berupa judul spread atau nama hari.

Saya harus mengakui bahwa beberapa bulan terakhir ini saya memang nyaris samasekali tidak merasa terinspirasi untuk melakukan hal-hal yang sifatnya estetik. Mungkin, karena saya merasa ‘kehilangan’ satu kegiatan yang saya sukai setiap hari, yaitu berdandan 😆 Selain itu, saya juga memiliki perasaan yang aneh di awal masa karantina: perasaan memiliki banyak waktu luang, namun di saat yang bersamaan juga merasa selalu kekurangan waktu. Perasaan aneh ini selalu membuat saya ingin melakukan segala sesuatu seefektif dan seefisien mungkin–bahkan mungkin, kadang dengan terlalu terburu-buru. Karena inilah, saya memutuskan untuk menekankan penggunaan bullet journal saya lebih pada fungsi saat ini, bukan kenikmatan visualnya. Mudah-mudahan fase ini tidak bertahan terlalu lama, ya 😀

Secara keseluruhan, saya sangat bersyukur karena memilih metode bullet journal dalam keseharian saya. Setelah mengalami masa karantina ini, saya semakin merasakan manfaat dari aspek fleksibilitas dan adaptifnya bullet journal. Hari-hari saya tetap terasa terstruktur dan organized, sehingga memudahkan saya untuk menjalaninya dengan produktif. Secara pribadi, saya pun merasa sangat terbantu untuk tetap mengenali diri sendiri, meskipun berada di tengah situasi dan kondisi yang berubah secara cepat dan masif.

Bagaimana kabar bujo-mu beberapa bulan terakhir ini? Mudah-mudahan tetap membawa kebaikan untukmu, ya 🙂

Namasté,

Dyah Synta

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s