Membumi

Hari Minggu yang lalu, saya dan keluarga Ngayoga [link] berkesempatan untuk meramaikan acara Bandung Green Festival 2018 yang mengambil tempat di Cihampelas Walk. Sesekali merasakan suasana dan lingkungan yang berbeda saat beryoga tentu memberikan pengalaman yang cukup berkesan bagi kami yang nyaris setiap Minggu pagi berkumpul dan beryoga bersama.

Saya sendiri diberi kehormatan untuk menjadi pengajar yang berbagi pada kesempatan itu. Berhubung acaranya memang banyak melibatkan brand dan produk-produk yang merayakan hasil dari bumi, maka saya memutuskan untuk membawa tema yang kurang lebih masih ‘satu nafas’, yaitu membumi.

Meneladani sifat baik dari bumi, tempat kita menapak

Konsep grounding atau membumi itu sendiri adalah salah satu hal yang membuat saya tertarik untuk mempelajari yoga lebih dalam. Meskipun pada prinsipnya seluruh jenis olah raga dan pengetahuan seputar kebugaran menyentuh pemahaman tentang hal ini, baru pada yoga, ayurveda, chakra, dan seperangkat ilmu lain yang menemaninya lah saya merasa aspek ini diberi porsi yang sesuai dengan pentingnya perannya dalam kehidupan manusia.

Lebih dari sekedar perilaku yang rendah hati dan tidak sombong, yoga menyikapi latihan membumi sebagai perwujudan dari bumi sebagai sebuah entitas yang riil–entitas padat yang nyata-nyata menyokong seluruh kehidupan yang tercipta di atas dan di dalamnya. Entitas yang memberi tempat bagi para makhluk untuk berpijak, menjadi tempat mereka menggantungkan hidup, memperoleh sumber nutrisinya.

Membawakan, atau mengikuti kelas yoga yang secara spesifik membawakan tema ini selalu membuat saya kembali merasa ‘aman’ karena kembali diingatkan betapa kecilnya saya sebagai satu individu, dan betapa luasnya tempat yang disediakan oleh Sang Pencipta untuk saya ‘mengadu’. Tidak jarang, saking besarnya rasa aman yang muncul, saya pun jadi mengalami rasa nyaman dan relaks–yang biasanya berujung pada rasa kantuk yang agak berlebihan 😀


Kadang, saya sering heran akan sifat pelupa yang ada di dalam diri saya. Berkali-kali saya lupa membawa sesuatu yang mengakibatkan saya harus memutar balik kendaraan kembali ke rumah, atau meninggalkan barang di berbagai tempat yang saya kunjungi (yang terakhir terjadi, saya meninggalkan seperangkat sendok dan garpu di sebuah tempat makan–sebuah niat baik untuk mulai mengurangi sampah, namun berujung rugi bandar 😆 ).

Lucunya, semakin sering saya melakukan sesuatu, semakin butuh usaha lebih rasanya bagi saya untuk melakukannya dengan penuh kesadaran. 

Seluruh sifat pelupa saya itu membuat tidak mengherankan jika saya terus-menerus perlu diingatkan dan disadarkan akan berbagai hal. Lucunya, semakin sering saya melakukan sesuatu, semakin butuh usaha lebih rasanya bagi saya untuk melakukannya dengan penuh kesadaran. Contoh yang paling mudah adalah dalam melakukan tarikan dan hembusan napas. Contoh lainnya, saya kerap kali lupa juga untuk menjejak dan berpijak.

Seluruh bagian dari diri saya yang so-called berpikir, bernalar, dan memiliki intelektualitas, biasanya akan langsung melakukan pembelaan atas hal ini. ‘Saya kan memiliki banyak hal yang harus saya pikirkan,’ atau, ‘Saya terlalu sibuk untuk menyadari cara saya melangkah setiap detik. Please lah, ini cucian aja masih numpuk!’ Seluruh pemikiran-pemikiran yang senada, yang mengerdilkan pentingnya kembali pada kodrat saya saat diciptakan, justru kembali menunjukkan bahwa saya memang sedang perlu diingatkan untuk membumi.

Tidak jarang, karena mendapatkan rasa aman ini pula saya jadi lebih mudah untuk percaya–baik pada orang lain maupun pada diri saya sendiri.

Perasaan tersokong adalah sebuah sensasi yang tidak tergantikan oleh apapun. Rasa aman yang diciptakannya–untuk saya pribadi–membuat saya merasa lebih leluasa untuk melakukan banyak hal, meskipun saya sedang terhimpit deadline atau sedang menjumpai banyak ujian dan cobaan. Tidak jarang, karena mendapatkan rasa aman ini pula saya jadi lebih mudah untuk percaya–baik pada orang lain maupun pada diri saya sendiri.

Pada dasarnya, sangat konyol jika kembali mengingat dan menyadari perasaan membumi itu disebut sebagai hal yang sulit. Tapi kenyataannya, saya–yang menjalani gaya hidup kaya akan berbagai rangsangan eksternal berupa visual, audio, imajinasi, atau perpaduan dari ketiganya–merasakan bahwa senantiasa berpijak dengan penuh kesadaran itu.. menantang.

Saya pribadi memang lebih mudah untuk mengingat betapa lezatnya sarapan yang teman saya santap di restoran fancy kemarin daripada menyadari rasa aman dan nyaman yang disediakan oleh rumah saya sendiri. Saya merasakan betul bahwa saya lebih mudah memfokuskan perhatian pada pikiran dan ambisi yang berada di ‘atas’–di dalam kepala saya–daripada pada bagaimana cukupnya hidup yang saya jalani saat ini.

Untuk bisa menggapai tinggi ke atas, jangan pernah lupa untuk mengakar kuat ke bawah 🙂

Bersyukurlah jika kalian merasa tidak pernah mengalami apa yang saya alami. Namun jika ada di antara kalian yang merasa ‘jauh’ dari perasaan aman dalam menjalani hidup dari hari ke hari, ingat-ingatlah beberapa hal yang selalu membantu saya untuk ‘mendekatkan diri’ pada bumi:

  • Bumi tidak bergerak dengan cepat. Bumi menamatkan satu putaran dalam waktu 24 jam, dan membutuhkan waktu sekitar 365 hari untuk selesai mengitari matahari. Memperlambat tempo pergerakan sesekali tidak pernah salah. Beristirahat tidak pernah salah. Secepat apapun saya berusaha untuk mewujudkan keinginan saya, saya tetap harus melewati proses dan waktu. Selama saya tetap tahu ke mana saya menuju, saya selalu berusaha menyikapinya sebagai sebuah marathon–bukan sprint;
  • Saya bisa membenamkan apa saja ke dalam bumi, tapi segala sesuatu yang bumi hasilkan selalu berupa hal yang membawa kebaikan bagi makhluk hidup. Mungkin karena itu bumi selalu disebut sebagai elemen yang mengajarkan kebijaksanaan;
  • Dalam hal berlatih yoga, saya menyadari bahwa tantangan selalu muncul setiap kali saya menjauhkan tubuh saya dari bumi, atau memperkecil titik kontak antara diri saya dengan bumi. Rasa aman yang paling besar tercipta ketika seluruh tubuh saya tertopang oleh bumi–ketika melakukan savasana. Kenyataan ini selalu kembali mengingatkan saya akan nyamannya menjalani hidup yang membumi–menciptakan rasa aman dalam segala kesederhanaannya;
  • The whole universe is within me–seluruh kualitas elemen yang membentuk alam semesta ini ada di dalam diri saya. Tidak terkecuali dengan bumi, yang merupakan elemen terberat, yang terejawantahkan seluruh kualitasnya dalam tubuh fisik saya. Memperbaiki koneksi antara saya dan bagian-bagian tubuh saya, selalu mengembalikan saya untuk menjejak dengan lebih baik dan berpijak dengan lebih berkesadaran.

Menikmati pergerakan yang lambat dan stabil, perasaan menapak dan terdukung, rasa aman dan bersyukur. Membumi itu nikmat, luar biasa. Salah satunya karena saya jadi bisa berkata bahwa apa yang saya miliki, apa yang saya jalani, apa yang mampu saya lakukan… adalah cukup.

Mudah-mudahan tulisan ini membawa kebaikan bagi kita semua 😀

Namasté 🙂

Dyah Synta

4 Comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s