Catatan Awal, di Akhir Ramadan

Saya menulis catatan ini dengan perasaan yang sulit untuk saya terjemahkan melalui deretan huruf.

Saat ini, saya baru saja pulang dari rumah mertua saya setelah berkumpul bersama untuk menyaksikan sidang isbat penentuan akhir Ramadan. Ternyata, setelah berpuasa selama 29 hari, besok pagi kami sudah bisa merayakan kemenangan. Beberapa anak kecil yang tinggal di sekitar rumah mertua saya pun langsung berkumpul dengan menenteng ‘instrumen’ yang berhasil mereka temukan–ada yang mengangkut jerigen kosong, ada yang membawa kardus bekas–dan mulai berkeliling melakukan takbiran.

Di antara suara takbir riang mereka dan kelegaan orang-orang yang saya temui karena sudah menuntaskan kewajiban berpuasa sebulan penuh, saya sibuk dengan pikiran saya sendiri.


Bulan Ramadan kemarin, saya banyak menerima pembelajaran tentang rasa ikhlas. Selama hampir dua minggu, saya harus ikhlas berpuasa dalam kondisi radang tenggorokan–yang artinya saya meler berat, sulit untuk berhenti batuk-batuk, dan–lebih dari sesekali–serangan asma juga datang. Dalam kondisi tubuh yang kurang fit, saya tetap menguatkan diri menjalankan pekerjaan saya dan mengajar kelas-kelas yoga. Beberapa kelas tetap berlangsung hingga sore, atau bahkan malam hari. Yang artinya, saya harus juga mengikhlaskan waktu yang seharusnya bisa saya gunakan untuk istirahat demi menunaikan kewajiban-kewajiban lain di rumah yang baru bisa saya kerjakan setelah hari gelap. Padahal, biasanya saya jarang sekali mengorbankan waktu istirahat saya.

Seperti efek domino yang terus berekor panjang, akhirnya saya pun juga harus mengikhlaskan jadwal yang sudah saya persiapkan untuk tetap berolah raga di bulan puasa. Saya yang tadinya berencana tetap rutin mengikuti kelas-kelas yang biasa saya ikuti, harus mengikhlaskan beberapa sesi. Selain karena tubuh yang terasa lelah terus-menerus, kadang juga karena terjebak kemacetan atau–yang paling menggelikan–karena saya tidak bangun saat sahur 😆 Volume latihan lari saya pun menciut jauh dari biasanya. Padahal, saya sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti sebuah race dalam waktu cukup dekat.

Siapa yang sangka, seluruh ujian keikhlasan itu ternyata ditutup dengan cobaan yang saya terima pagi ini: menemukan bahwa blog saya tidak bisa diakses.


Blog saya memang sudah lama tidak saya urus dengan baik. Bahkan mungkin lebih tepat kalau dikatakan saya sudah cukup lama menelantarkannya. Meskipun begitu, ketika pagi ini saya tiba-tiba ingin bercerita, lalu mendapati saya tidak bisa menemukan ‘wadah’ yang sudah cukup lama menampung berbagai cerita saya, rasanya saya jadi ingin bengong saja sepanjang hari.

Sayangnya, saya sudah membuat janji dengan suami untuk bersih-bersih rumah hari ini, sebelum besok kami ber-Lebaran. Jadi dengan hati yang berat, pikiran yang melayang-layang, dan perasaan yang berduka, saya pun memaksakan diri tetap berjibaku membasmi debu dan merapikan setiap sudut rumah. Ketika akhirnya beberapa jam kemudian saya sudah selesai menuntaskan kewajiban itu, saya yang masih berduka ini lalu menyadari sesuatu.

Ketika bebersih rumah tadi, saya banyak menyisihkan benda-benda yang selama ini saya simpan tanpa saya acuhkan. Beberapa masih berada dalam kondisi baik tapi sudah tidak terpakai, beberapa lagi bahkan saya sudah tidak peduli dengan keberadaannya–tapi tetap memenuhi rumah saya karena saya yang sudah terlalu abai. Ada juga yang saya simpan dengan alasan paling standar: siapa tahu lain kali perlu–padahal selama beberapa bulan terakhir, benda-benda itu tidak pernah saya sentuh sedetik pun.

Melepaskan benda-benda itu dari kehidupan saya dalam enam jam tadi seolah menjadi ‘pemanasan’ yang akhirnya membawa saya pada kesimpulan bahwa mungkin saya memang sedang berada di sebuah titik yang menjembatani sebuah akhir dan sebuah awal.

Mungkin saya memang sedang harus menamatkan modul berjudul ‘Ikhlas’ yang selama sebulan terakhir ini terus diajarkan kepada saya.

Dan singkat cerita, saya pun mulai menulis catatan ini, sambil terus berkata dalam hati:

Selamat datang 🙂

Mungkin langkah ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan ujian aparigraha*) yang pernah dialami oleh orang lain. Tapi saya bersyukur karena paling tidak saya masih diizinkan untuk belajar memahaminya dalam hidup saya.

Untuk kini, mudah-mudahan catatan kecil ini tidak sekedar membuang-buang waktumu yang berharga. Catatan-catatan lain akan datang juga, dan seharusnya, bisa saya upayakan dalam waktu tidak begitu lama.

Selamat berkumpul bersama keluarga dengan penuh suasana raya akan kemenangan di pagi hari. Mudah-mudahan kita masih dipertemukan dengan Ramadan selanjutnya.

Namasté 🙂

 

*) Non-attachment. Salah satu ajaran dalam yoga yang menekankan pentingnya melepaskan hasrat kepemilikan. Termasuk di dalamnya melepaskan apa yang sudah tidak lagi bermanfaat, dan mengambil hanya apa yang menjadi hak.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s