Kompetitor, Kompetisi, dan Usaha

Akhir pekan yang lalu, saya berkesempatan berjalan-jalan dengan satu moda transportasi yang sudah lama tidak saya tumpangi: angkot. Sebuah alat transportasi yang selalu menyiratkan kesederhanaan dan apa adanya–paling tidak, di mata saya–sekaligus juga pengguna jalan yang paling sering saya maki-maki 😀

Ada sesuatu tentang angkot yang–menurut saya–membuatnya terasa khas. Para penumpangnya selalu memiliki ekspresi percampuran antara kepanasan, khawatir–entah akan keselamatan dirinya atau barang bawaannya, lega saat merasakan semilir angin, kesal, dan di saat yang bersamaan, tidak mau tahu. Selain itu, perbincangan yang terjadi di dalamnya selalu terdengar jujur dan ceplas-ceplos. Hari itu, perjalanan saya pun diwarnai dengan suasana tersebut.

Seorang penumpang terburu-buru memasuki angkot tidak lama setelah saya duduk di spot favorit saya di belakang supir. Dia datang bersama dua orang temannya yang memilih untuk duduk di depan bersama supir. Penumpang yang terpisah ini lalu menjatuhkan dirinya di kursi paling belakang dan bersandar ke sudut sambil berkata:

“Panas! Duh macet, lagi! Kapan ya Bandung nggak macet?”

Ketika itu, matahari memang sedang bersinar cukup terang. Sebenarnya suhu udara tidak terlalu tinggi, tapi waktu memang sudah menunjukkan sekitar pukul sebelas siang. Waktunya matahari bersinar mencrang.

Keluhan si penumpang lalu dijawab serta merta oleh sang pengendara:

“Sekarang mah Bandung pasti bakal macet terus, Bu. Soalnya angkutannya udah banyak. Ada Grab, Go-Jek, Go-Car, Uber. Orang-orang yang dulunya sibuk tidur, sekarang pada narik semua.

Saya–masih dengan ekspresi khas penumpang angkot yang merupakan percampuran antara kesal, kepanasan, dan khawatir–lalu berusaha melirik wajah sang pengendara lewat kaca spion yang ada di depan. Saya terus mengulangi jawabannya tadi di dalam kepala saya sambil mencoba memahami sudut pandang sang pengendara melalui raut wajahnya.

Dia terlihat serius. Tanpa amarah, tapi apa yang baru saja diucapkannya itu seperti memang sudah selalu dia play berulang-ulang di kepalanya. Sesuatu yang dia sudah hapal di luar kepala. Sesuatu yang–mungkin–sudah menghantuinya cukup lama.


Hari ini sudah lebih dari satu minggu berlalu sejak kejadian itu, tapi saya masih terus mengingatnya. Tentu ada perasaan gemas dan komentar umum ‘Ya gimana Indonesia bakal maju kalo masih aja ada orang yang mikir kayak begitu’ di dalam kepala saya. Tapi yang paling ‘mengganggu’ saya adalah sebuah kekhawatiran. Saya takut berakhir dengan pemikiran yang sama dengan pengendara itu.

Apakah Kojon juga merupakan kompetitormu, Pak Supir?

Baik dalam peran saya sebagai pengajar yoga maupun wirausahawan, saya berhadapan–secara langsung maupun tidak–dengan pihak yang serupa, yaitu kompetitor. Selama ini, saya berusaha sebaik mungkin untuk tidak terlalu memfokuskan perhatian pada mereka, dan mengarahkan fokus saya semaksimal mungkin pada kualitas saya, dan kualitas produk-produk yang saya hasilkan. Ketakutan saya yang terbesar bukanlah pada kondisi ‘dikalahkan’ oleh para kompetitor saya, melainkan berakhir dengan pemikiran bahwa satu-satunya cara untuk survive adalah seperti pengendara angkot itu–dengan menjelek-jelekkan para kompetitor saya.

Ketakutan saya yang terbesar bukanlah pada kondisi ‘dikalahkan’ oleh para kompetitor saya, melainkan berakhir dengan pemikiran bahwa satu-satunya cara untuk survive adalah seperti pengendara angkot itu–menjelek-jelekkan kompetitor saya.

Kenyataannya, saya sering sekali berada dalam situasi di mana saya dibanding-bandingkan dengan kompetitor-kompetitor saya. Apakah saya dan produk-produk saya selalu keluar sebagai ‘pemenang’ dalam perbandingan itu? Tidak, pastinya. Tapi setiap kali timbul perasaan ingin membela diri dan mengunggulkan kelebihan yang dimiliki oleh saya maupun produk saya, saya berusaha mengingatkan diri saya bahwa itu bukanlah tujuan saya melakukan semua ini.

Saya bukan ingin menjadi pengajar yoga yang paling sempurna dan tanpa cela. Saya bukan ingin menciptakan produk paling hebat yang tidak memiliki kekurangan apa-apa. Saya bukan ingin menggantikan Yang Maha Bisa.

Sejak awal, motivasi saya memulai semua ini adalah untuk memudahkan orang lain dalam memulai gaya hidup sehat mereka masing-masing. Itu adalah sebuah perjalanan yang panjang, yang masih jauh dari berakhir–paling tidak, untuk saya. Dan saya tidak pernah tertarik untuk melalui perjalanan panjang itu seorang diri.

🙂

Karena itulah, saya selalu berusaha melihat para pengajar yoga dan brand-brand produk olah raga yang lain sebagai pihak yang juga berjalan bersama saya untuk mewujudkan cita-cita ini. Mungkin mereka memiliki sumber daya dan keahlian yang lebih mumpuni daripada saya saat ini, mungkin mereka sudah bisa ‘berlari’ saat saya masih harus ‘merangkak’. Tapi tujuan kami–sepertinya–sama. Dan selama apa yang mereka lakukan turut berperan dalam mewujudkan cita-cita saya, mengapa saya harus merasa perlu untuk menghalang-halangi, apalagi sampai menyengajakan menjatuhkan langkah mereka?

Saya percaya bahwa saya hadir di dunia ini untuk memenuhi sebuah peran yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Saya percaya bahwa peran itu hanya bisa dijalankan oleh saya–dengan seluruh kelebihan saya, dan seluruh kekurangan saya. Saya yakin semua orang pun terlahir dengan mengemban peran masing-masing. Karena itu, adalah sebuah hal yang sangat sia-sia kalau saya membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain. Hei, peruntukannya saja berbeda-beda, kan?

Saya lebih senang berjalan beriringan dengan siapapun. Toh, saya rasa tidak ada seorang pun yang lebih memilih untuk berada di neraka daripada menikmati indahnya surga. Karena itu, saya memilih untuk menciptakan dunia yang–paling tidak–tidak seperti neraka. Tidak ‘panas’ akan kebencian dan tidak saling membuka aib. Saya percaya salah satu cara termudah untuk mewujudkan itu adalah dengan menganggap bahwa kebahagiaan apapun yang dirasakan oleh siapapun adalah kebahagiaan untuk saya juga. Saya percaya dunia yang bahagia hanya bisa diwujudkan oleh orang-orang yang merasa bahagia.

Saya tahu bahwa kemungkinan sang supir angkot untuk membaca tulisan ini sangat kecil–jika tidak mau dibilang tidak ada. Tapi meskipun tulisan ini tidak bisa menjadi pengingat untuk dia, mudah-mudahan tulisan ini tetap bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Mari berusaha sepenuh hati untuk memenuhi peran kita masing-masing.

“Seek to complete rather than compete.”

-Linda K. Burton

 

Namasté 🙂

Dyah Synta

2 Comments

  1. Setiap org atau barang itu unik, masing2 ada peruntukannya, i think tugas & tanggung jawab kita adalah menjadikan dan memberikan diri/ produk kita yg terbaik untuk para pengguna jasa atau konsumen, selebihnya yg cerdas & cermat & yg tersentuh hatinya pasti akan lebih bijak dalam memilih . Looove bgt tulisannya ❤

    Like

Leave a comment