Berlari di BNI ITB Ultra Marathon 2017

Ketika Rino–teman SMA yang kebetulan juga satu angkatan dengan saya di ITB, hanya beda jurusan–menawari saya untuk ikut meramaikan tim relay angkatan 2006 di acara BNI ITB Ultra Marathon 2017, reaksi pertama saya adalah menolak, diikuti dengan tertawa. Saya kira Rino bercanda atau sekedar manas-manasin saya supaya saya mau mulai rajin lari lagi. Karena, sepertinya Rino tahu kalau sejak menamatkan Full Marathon di The Jakarta Marathon 2015, saya belum pernah melintasi garis start acara lari apapun–apalagi gerbang finish. Agak mencurigakan kalau dia mengajak saya dengan alasan merasa saya mumpuni untuk membantu tim 2006.

Lucunya–seolah memang sudah digariskan oleh Tuhan–beberapa minggu sebelum Rino mengontak saya, saya memang baru saja berhasil menemukan cara untuk ‘memperbaiki’ cedera yang saya alami sejak menyelesaikan Full Marathon dua tahun yang lalu [link]. Iya, selama nyaris dua tahun, saya tahu ada yang salah dengan kaki kiri saya. Tapi karena saya tidak tahu salahnya di mana, saya juga tidak tahu harus melakukan apa selain meliburkan diri dari kegiatan berlari.

Lalu Rino membujuk saya dengan menjelaskan bahwa setiap pelari dalam tim relay ‘hanya’ akan mendapat jarak sekitar 10 km–karena total jarak yang harus dipenuhi adalah 170 km, dan setiap tim relay akan diisi 16 pelari.

Saya lalu kembali mengingat kejadian tahun 2014 ketika saya juga sudah ‘libur’ berlari beberapa bulan karena patah tulang di kelingking kaki kanan. Saat itu, saya berniat kembali merutinkan lari dan mendaftarkan diri saya untuk mengikuti BajakJKT sejauh 10 km dengan waktu persiapan 8 minggu.

Selang waktu antara ketika Rino menawari saya dan hari H hanya 5 minggu. Tapi entah bagaimana ‘kalkulasi’ yang terjadi di kepala saya–mungkin saya memang sudah terlalu lama tidak mengkalkulasi apa-apa–akhirnya saya mengiyakan ajakan Rino, dengan syarat saya menjadi pelari ke-16 alias terakhir, supaya titik start saya tidak jauh dari Bandung.

 

Kembali Berlatih Lari

Dua hal pertama yang saya lakukan adalah men-set training plan dengan aplikasi andalan saya, My Asics [link], dan berkonsultasi dengan Paul–teman seangkatan yang cukup berwawasan dalam dunia lari. Biasanya, My Asics akan menolak membuatkan training plan jika target yang saya tentukan dinilai terlalu muluk. Jadi, kalau Paul atau My Asics tidak menyarankan saya untuk mengikuti acara itu, saya akan memohon maaf yang sebesar-besarnya ke Rino, dan mengundurkan diri. Tapi ternyata mereka berdua tampak dengan mudah menyetujui misi saya. Maka tidak ada alasan yang tersisa lagi, mulailah saya latihan.

Tentu saja sesi-sesi awal latihan saya sangat menyiksa, dan terasa sangat lama–alias nggak selesai-selesai. Tapi seiring berjalannya waktu, badan saya berangsur mulai merasa nyaman berlari. Sayangnya, karena kesulitan menyiknronkan jadwal antara latihan dan mengajar yoga, di tengah masa latihan, saya pun harus rela menurunkan intensitas–dari yang semula ingin 4 kali seminggu, jadi hanya 2 kali seminggu, atau 3 kali kalau sempat.

Selain itu, karena saya menyadari salah satu penyebab cedera saya dulu adalah kurang rajinnya saya melakukan post-run stretch, saya pun semakin meningkatkan intensitas latihan yoga saya sehari-hari. Prinsip saya selama latihan adalah the more I run, the more I should do yoga. Karena, saya harus mengakui bahwa yoga adalah bentuk olah raga yang paling direspon dengan baik oleh tubuh saya. Jadi, sebenarnya cukup aneh, karena selama saya dalam masa berlatih lari, saya justru lebih banyak beryoga daripada lari.

Latihan saya bisa dibilang berjalan sesuai rencana–karena toh target yang saya tentukan samasekali tidak muluk. Tidak ada target waktu ataupun pace, saya hanya harus menyelesaikan jatah saya berlari. Sejujurnya, setelah beberapa minggu berlatih, kepercayaan diri saya untuk bisa berlari sejauh 10 km mulai muncul, dan saya mulai kembali menikmati setiap sesi latihan.

Sampai kemudian datanglah berita bahwa jarak yang harus ditempuh oleh masing-masing pelari mengalami perubahan.

Dan jarak etape terakhir ‘melar’ menjadi 14.6 km.


Antara panik dan kesal, selama 2 minggu terakhir masa latihan saya memutuskan untuk tidak terlalu menghiraukan ‘tambahan’ nyaris 5 km itu. Setiap kali ketakutan saya muncul, saya hanya bisa tertawa lalu pura-pura lupa. Saya sadar kalau mendadak saya mengundurkan diri, kemungkinan saya akan merepotkan banyak orang, tapi kalau saya meneruskan, besar kemungkinan saya akan merepotkan diri saya sendiri. Jadi, saya memutuskan untuk pasrah saja 😆

1 minggu menjelang hari H, hari Minggu sore, saya memutuskan untuk latihan bersama Mumu–pelari lain dari angkatan 2006 yang juga kebagian di etape yang sama. Karena 2006 mengirimkan 2 tim, jadi memang setiap etape akan dilarikan oleh 2 orang secara bersama-sama. Jadi, saya dan Mumu akan berlari berdua sepanjang jalan. Cukup melegakan ketika Mumu mengaku dia pun merasa kecele saat jarak yang harus kami tempuh bertambah cukup banyak. Dan dari obrolan kami sepanjang lari berkeliling ITB, saya merasa cukup tenang karena kurang lebih kami bisa memahami fitness level satu sama lain. Sore itu, kami berlari sekitar 7 km–kira-kira setengah dari jarak yang harus kami tempuh satu minggu kemudian.

Dapat disimpulkan, selama dua tahun terakhir, hari H BNI ITB Ultra Marathon akan menjadi kali pertama saya berlari dengan jarak sampai dua digit. Cukup panik dan tidak tenang, tapi dengan berusaha tetap bisa berpikir jernih, akhirnya terpikirlah sebuah strategi run-walk. Persetujuannya, setiap 2.5 km, kami akan mengambil walking break untuk minum dan makan secukupnya. Menurut saya, strategi ini cukup masuk akal dan do-able untuk saya dan Mumu.

 

Banyak Keajaiban

H-1, Mumu mengabari saya bahwa temannya bersedia untuk menemani kami sampai ke titik start etape dan menyetirkan mobil kembali ke ITB–alias titik finish kami. Saya bersyukur sekali, karena berarti satu beban pikiran bisa kami hilangkan.

Yang saya tidak ketahui, ternyata teman Mumu yang bernama Adham ini sudah berpengalaman menjadi pengurus–bahkan peserta–dalam sebuah event lari ultra-marathon yang besar, yaitu NusantaRun. Selama perjalanan menuju titik start di Cimahi, Adham bercerita banyak tentang pengalamannya, yang membuat saya bernapas semakin lega.

Ia juga menyetujui rencana kami untuk mengambil break setiap 2.5 km. Lebih bahagianya lagi, karena dia dan mobil akan berhenti di setiap 2.5 km, kami tidak perlu membawa banyak supplies saat berlari. Air minum, cemilan, dan semua yang kami butuhkan, langsung dengan sigap disediakan oleh Adham dan dapat dengan mudah kami akses di dalam mobil. Alhamdulillah, rasanya saya jauh lebih tenang saat menyadari itu. Apalagi lalu saya juga mengetahui bahwa kami akan dikawal oleh dua orang pesepeda–yaitu Atthar dan Hadi–yang akan membantu melindungi dua wanita tak berdaya ini di tengah kejamnya jalan raya malam hari. Alhamdulillah satu kali lagi, dan tidak pernah ada habisnya.

ultra marathon
Menerima ‘tongkat estafet’ dari Hafni & Radeya

Dibandingkan berlari sejauh 14.6 km, berlari 2.5 km sebanyak 6 kali berturut-turut terasa jauh lebih ringan dan menyenangkan. Meskipun beberapa kali perut saya kram karena ternyata saya belum kembali terbiasa untuk menyela lari dengan asupan cemilan, tidak pernah terlintas sekejap pun untuk berhenti dan menyerah. Di setiap pemberhentian pun kami bisa ngobrol dan bercanda, jadi saya merasa jauh lebih santai. Mentally–terutama–biarpun secara pace kami memang santai banget juga, sih 😆

Kejamnya jalan raya

Rute yang harus kami lewati adalah menyusuri jalan raya yang terbentang dari sebuah SPBU di Cimahi sampai ke Gunung Batu, lalu memasuki Bandung lewat Pasteur. Di Pasteur, kami akan bertemu dengan Rino dan Zul yang akan meramaikan geng berlari kami. Lalu kami akan disambut oleh para pelari dari 2006 lainnya ketika memasuki Jln. Tamansari, untuk kemudian berlari bersama sampai ke finish gate di kampus ITB.

Malam itu, dari sejak mulai berlari sekitar pukul 21:00, pikiran saya tidak bisa berhenti mengilas balik seluruh kilometer yang pernah saya lalui dengan berlari sebelumnya–cerita-cerita yang hanya diketahui oleh saya dan kedua kaki saya. Langsung terbayang kembali jalanan di BSD yang dulu sepertinya menjadi favorit hampir semua race di Jakarta yang saya ikuti–dan saat terakhir kali saya mengunjunginya, sudah banyak sekali berubah. Terbayang juga setiap water station yang saya lewati di The Jakarta Marathon 2015, yang sebagian besar sudah kehabisan air putih dan hanya menyediakan Pocari Sweat–cukup traumatis. Puluhan momen dalam berbagai foto yang berlatar belakang area car free day di sepanjang Jln. Sudirman juga ikut muncul satu per satu, diikuti pemandangan track lari di Sarana Olahraga Ganesha yang dulu biasa saya kunjungi dari saat hari masih gelap.

Sudah sejak lama, berlari menjadi sumber kebahagiaan tersendiri untuk saya. Dan saya kembali bisa melakukannya, setelah sekian lama memaksakan diri untuk terpisah darinya. Ternyata, olah raga yang saya benci sepenuh hati saat kuliah tingkat 1 bisa membuat saya merasakan hal-hal yang sentimentil.

Waktu yang kami butuhkan untuk sampai di belokan Jln. Tamansari adalah sekitar dua jam. Dan selama dua jam itu, saya tidak berhenti bersyukur.

ultra marathon
Bertemu teman-teman pelari 2006 lainnya

Sambil terus berusaha menguasai napas, menguatkan langkah, dan menjaga postur yang sudah semakin berat, saya berlari, di samping Mumu, bersama teman-teman 2006 yang lain, memasuki gerbang kampus ITB. Melihat kembali pemandangan gerbang finish di depan saya kembali mengingatkan saya pada perasaan yang khas–percaya-tidak percaya, bahagia, tidak sabar, dan juga terharu. Dengan sisa-sisa tenaga, saya dan Mumu pun menambah kecepatan langkah melewati gerbang itu.

 

Tidak ada catatan waktu, tidak ada peringkat, tidak ada foto finisher yang spesial. Tapi hati saya penuh rasa syukur dan bahagia yang luar biasa. Saya kembali dipertemukan dengan satu hal yang saya cintai, yang sudah lama saya rindukan–lari.

ultra marathon
Merayakan finish
ultra marathon
Foto dengan medali finisher

Iya, saya cinta berlari.

Namasté 🙂

Dyah Synta

 

PS: Terima kasih banyak untuk Ganesha Athletic Six [link] yang sudah mengembalikan kedua kaki saya ke dalam sepatu lari 🙂 Kepercayaan kalian bermakna terlalu besar untuk saya sampaikan dengan kata-kata.

ultra marathon
GAS – Ganesha Athletic Six

Dokumentasi dari berbagai sumber, salah satunya Sufi Hamdan Mazida.

4 Comments

Leave a comment