Beberapa minggu yang lalu–tepatnya tanggal 4 Agustus–saya memutuskan untuk ‘menambah anak’ alias membuat satu akun Instagram baru. Berbeda dari akun Instagram pribadi saya (@dyahsynta), akun Instagram baru ini saya khususkan untuk satu hal yang sebenarnya cukup personal, yaitu journaling.
Ketika membuat akun baru ini, saya tidak berpikir terlalu panjang tentang konsep selain fakta bahwa buku tulis yang saya jadikan jurnal ini mayoritas hanya saya isi dengan warna hitam dan abu-abu. Karena itulah akun baru ini saya beri nama @monokromajic, kependekan dari monochromatic (bullet) journal.
//lightwidget.com/widgets/lightwidget.js//lightwidget.com/widgets/6fe2c8ac641d5432b0184f7627d55a2a.html
Cerita awal tentang bagaimana saya mulai berkenalan dengan bullet journal bisa dibaca di sini [link].
Sistem bullet journal yang luar biasa fleksibel namun terstruktur rapi memang sepertinya tidak pernah habis untuk diulik. Ekstrimnya, kalau setiap saat saya mau menggonta-ganti layout atau style, saya bisa dengan mudah melakukannya. Dan–meskipun tidak sedrastis itu–hal inilah yang terjadi pada saya.
Sejak memulai bullet journaling di awal 2016 kemarin, saya sudah ‘menamatkan’ dua notebook, dan saat ini sedang menggunakan notebook ketiga. Jika disandingkan bersebelahan, akan terlihat beberapa perbedaan dari cara saya menggunakan bullet journal ini. Beberapa yang terlihat jelas dan paling terasa manfaatnya adalah layout, penggunaan color coding, dan pengelompokan halaman.
Layout
Di buku pertama, saya hanya menggunakan layout dasar yang dicontohkan pada video perkenalan bullet journal [link]. Hampir tidak ada header macam-macam, apalagi doodles dan huruf-huruf cantik. Di buku kedua, saya mulai berani mengulik layout meskipun tidak berubah samasekali dari awal sampai penghujung buku alias hanya ada satu macam layout yang saya gunakan di dalam buku tersebut.
Di buku ketiga, saya mulai tergerak untuk menjadi lebih ‘centil’–menggunakan layout yang berbeda-beda setiap bulannya. Selain itu, saya juga mencoba mengaplikasikan tema yang berbeda-beda, paling tidak dalam dua bulan terakhir.

Sejujurnya, di dua buku pertama, saya memang terlalu malas untuk meluangkan waktu menyikapi bullet journaling ini dengan sedikit serius. Saya hanya menjadikannya sebagai tools untuk memonitor produktivitas sehari-hari.

Yang luput dari kesadaran saya adalah bahwa saya memiliki sifat bosenan yang cukup akut. Terlalu monotonnya tampilan jurnal membuat saya mudah kehilangan selera untuk me-utilize jurnal yang sebenarnya cukup ampuh untuk membuat saya jadi lebih fokus dan menjalani hari-hari dengan lebih terencana.
Setelah menyadari ini, barulah hati saya mulai ‘terketuk’ untuk lebih memperhatikan estetika bullet journal saya dengan berusaha ‘mengais-ngais’ kembali ketrampilan menggambar yang sudah cukup lama tidak saya gunakan. Sejauh ini sih, trik ini cukup berhasil mempertahankan antusiasme saya untuk ‘bersentuhan’ dengan jurnal saya setiap hari.
Color Coding
Karena kegemaran saya untuk menggambar dengan teknik cross-hatching (seperti yang bisa dilihat di sini [link]), sejak dulu saya memang selalu mengandalkan bolpen multiwarna untuk saya bawa ke mana-mana. Saya baru menyadari bahwa kebiasaan ini bisa saya manfaatkan untuk mengoptimalkan bullet journal saya ketika saya berada di tengah-tengah buku kedua.

Saya memilih untuk mengisi bullet journal saya dengan warna yang berbeda untuk topik yang berbeda ketimbang harus membuat ikon atau key yang beraneka ragam, atau memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan di buku yang berbeda. Dengan cara sederhana ini, saya bisa dengan mudah menemukan yang saya butuhkan dalam puluhan pos yang saya tuliskan di setiap spread.
Pengelompokan Halaman
Aspek ini juga merupakan aspek yang baru saya terapkan di buku ketiga.
Satu hal yang cukup menarik dalam sistem bullet journaling adalah adanya index atau daftar isi yang membuat penggunanya bisa bebas menuliskan apa saja di dalam jurnalnya tanpa harus kebingungan saat mencarinya kembali. Dari ide sederhana (yang menurut saya brilian) inilah muncul beraneka ragam collections atau halaman-halaman yang tidak berisi log dari kegiatan, events, ataupun appointments. Keberadaan collections ini–menurut saya–sangat membedakan sistem bullet journal dengan sistem planner atau agenda konvensional.

Collections ini bentuknya bisa macam-macam, mulai dari tracker untuk menonton serial TV, catatan transaksi keuangan, curhat, quotes, sampai ke scrapbooking.

Saya pun ikut mengaplikasikan collections ini dalam bullet journal saya sejak di buku pertama. Hanya saja, saya baru menyadari bahwa penempatan collections ini jadi menyulitkan saya untuk menemukan halaman-halaman yang sering saya akses–seperti monthly spreads atau weekly spreads. Akhirnya, di buku kedua, saya sangat minim menuliskan collections. Keberadaan tab dan pembatas halaman memang bisa memudahkan hal ini, tapi saya pribadi lebih memilih untuk melakukan pengelompokan halaman.
Kalau di buku pertama saya merasa bebas menempatkan collections di mana saja–bisa tiba-tiba muncul di antara dua weekly spreads atau setelah monthly spreads–sekarang saya menerapkan aturan sederhana bahwa setiap bulannya, jurnal saya diisi dengan mengikuti urutan: monthly spreads–weekly spreads-lalu collections. Meskipun tidak terlalu terlihat, hal ini terbukti memudahkan saya setiap kali saya mau melakukan rapid logging atau meng-update to-do lists.
Saya masih mengakui bullet journal sebagai sistem yang paling mumpuni untuk menjaga produktivitas saya sehari-hari. Hanya saja, memang kebebasan dan fleksibilitasnya membuat saya harus terus mencari sendiri sistem yang paling pas untuk saya. Bisa dibilang, bullet journal adalah proses pencarian sistem planning dan organizing ideal yang terus berjalan.
Ini juga yang–menurut saya–membuat bullet journal setiap orang jadi khas dan sangat pribadi. Karena apa yang menurut saya berguna, bisa jadi tidak bermanfaat apa-apa untuk orang lain. Bahkan apa yang saat ini saya anggap sangat membantu bisa saja bulan depan saya anggap mengganggu. Seluruh kondisi ini sama-sama benar, karena memang kebutuhan dan keseharian setiap orang adalah sesuatu yang bersifat sangat dinamis.
Yang membuat saya geli adalah kenyataan bahwa hidup saya sudah berubah hampir 180 derajat. Dulu, mendesain dan menggambar adalah cara saya untuk memperoleh pendapatan, sementara berolah raga adalah satu hal yang saya sikapi dengan sangat personal. Sekarang, yang terjadi benar-benar hampir kebalikannya–saya memperoleh pendapatan dari berbagi tentang olah raga yang saya lakukan, dan ‘menyimpan’ kebiasaan menggambar hanya di dalam jurnal pribadi saja 😆
Jadi, apa isi bullet journal-mu? 😉
Namaste 🙂
Dyah Synta
Hi Synta! Salam kenal 🙂 I really like your bullet journal! May I know what kind of notebook you are using?
LikeLike
Haai, salam kenal juga ❤ Terima kasih udah main-main ke sini! Aku pakai dotted notebook seri Easy Open dari Muji yang ukuran A5 🙂
LikeLike
Teeeh..kereen uy.. jadi belinya dmn? haha.. mauu ah bikin ginian juga 😀
LikeLike
Thank you 🙂 Beli apanya ya maksudnya?
LikeLike