Beberapa hari yang lalu, saya dihubungi oleh seorang teman yang mengajak saya berbincang banyak tentang yoga. Hampir semua aspek ditanyakan olehnya–mulai dari bagaimana awal mula saya tertarik beryoga, apa yang membuat saya yakin menjadikan yoga sebagai mata pencaharian saya, sampai ke ketertarikan saya untuk rutin bersepeda. Karena menjawab pertanyaan-pertanyaannya, saya jadi ‘terpaksa’ banyak mengingat kembali apa yang sudah saya lewati, segala sesuatu yang membawa saya ke titik saat ini.
Saya termasuk orang yang beruntung karena memulai kebiasaan berolah raga sebelum saya harus melakukannya tanpa boleh menawar. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di dalam kelas yoga, saya tidak dalam kondisi memiliki berat badan sangat berlebih atau harus menyembuhkan diri dari suatu cedera atau penyakit. Ketika memutuskan untuk mencoba beryoga, motivasi saya adalah karena saya menyadari betapa rutinitas pekerjaan kantoran membuat tubuh saya menjadi sangat tidak nyaman–saya merasa pegal hampir setiap saat, dan berjalan kaki sedikit saja selalu membuat napas saya ngos-ngosan. Sulit bagi saya saat itu untuk bisa mencintai istilah ‘aktif bergerak’, karena sehari-harinya saya hanya banyak duduk di depan komputer.
Saya bersyukur karena saat itu saya memilih untuk ‘mendengarkan’ apa yang tubuh saya coba komunikasikan dengan saya, yaitu bagaimana ia merasa tidak lagi diberikan haknya untuk bergerak.
Butuh waktu cukup lama sejak saya pertama kali mulai beryoga sampai saya merasa bahwa rutin beryoga memang membuat saya jadi jauh lebih bahagia. Tapi kemungkinan besar, kesadaran itulah yang menjadi alasan terbesar mengapa saya masih beryoga sampai saat ini. Bagaimana saya bisa jatuh cinta juga pada olah raga-olah raga lain pun kurang lebih sama ceritanya. Tapi yoga–sebagai satu-satunya yang membuka hati saya untuk rutin berolah raga–memang memiliki tempat tersendiri di dalam hati saya.
Tapi yoga–sebagai satu-satunya yang membuka hati saya untuk rutin berolah raga–memang memiliki tempat tersendiri di dalam hati saya.
Saya paham bahwa konsep perasaan bahagia yang timbul karena berolah raga ini mungkin terdengar mengada-ngada bagi sebagian orang. Saya juga paham bahwa saat ini, kita lebih akrab dengan anggapan bahwa hal-hal yang membuat kita bahagia adalah hal-hal yang sifatnya bisa terukur–besarnya gaji dan kecilnya pengeluaran, pencapaian yang sifatnya akademis, pencapaian dalam karier, saldo tabungan, performa anak di sekolah, angka berat badan, angka lingkar-lingkar tubuh, dan berbagai pencapaian terukur lainnya.
…saya pun mengakui bahwa hal-hal itu efektif untuk menciptakan perasaan bahagia di dalam diri saya.
Saya tidak akan berusaha memutarbalikkan anggapan ini, karena saya pun mengakui bahwa hal-hal itu efektif untuk menciptakan perasaan bahagia di dalam diri saya. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa rasa bahagia yang saya temui setiap kali saya berolah raga itu berupa perasaan yang benar-benar berbeda.
Mungkin kurang lebih mirip seperti perasaan bahagia yang timbul setelah kita berbuat baik kepada orang lain–entah itu menyempatkan diri untuk mendengar curhat seorang teman, mengikhlaskan sebagian dari harta untuk orang yang lebih membutuhkan, atau sekedar menahan diri dari mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati seseorang. Tidak peduli berapa angka berat badan saat itu, setiap kali saya melakukan hal-hal yang menyuarakan kebaikan di dalam hati nurani seperti hal-hal tadi, saya selalu merasa bahagia. Dan sejauh ini, saya belum pernah menemukan orang yang tidak merasakan yang hal serupa.
Buat saya, berolah raga adalah satu aksi kebaikan yang saya lakukan untuk diri saya sendiri.
Kurang lebih, begitulah sensasi yang muncul di dalam diri saya setiap kali saya selesai berolah raga. Buat saya, berolah raga adalah satu aksi kebaikan yang saya lakukan untuk diri saya sendiri. Hanya dengan melakukannya saja–tanpa harus mengukur reward yang saya terima–saya sudah merasa bahagia.
Ketika menjawab pertanyaan dari teman saya itu, saya menyampaikan satu kesimpulan sederhana:
“Karena olah raga selalu berhasil membuat saya bahagia, dan itulah cara yang saya pilih untuk membahagiakan orang lain–dengan mengajak mereka untuk mencoba berolah raga.”
Entah apakah penjelasan itu terdengar masuk akal baginya atau tidak, tapi menurut saya, jawaban itulah yang bisa merangkum seluruh rentetan keputusan-keputusan yang saya ambil sampai saya menjadi seperti sekarang dan melakukan apa yang saya kerjakan sekarang.
Saya hanya terus membayangkan betapa dunia akan menjadi indah jika dihuni oleh manusia-manusia yang bahagia. Mungkin ini terdengar seperti mimpi, tapi saya ingin membuat orang lain bahagia melalui cara yang saya tahu selalu berhasil membuat saya bahagia. Karena saya yakin manusia yang bahagia akan berpikir lebih banyak sebelum memutuskan untuk melukai perasaan manusia lainnya, mengambil apa yang tidak menjadi haknya, atau melakukan hal-hal lain yang membuat orang lain merasa tidak bahagia.
Namasté 🙂
Dyah Synta