Matematika dan Grace Sahertian

Beberapa hari yang lalu, terjadi sebuah diskusi yang lain daripada biasanya di grup WhatsApp saya dan sesama ‘pejuang’ TTC Kirana angkatan kedua. Jika biasanya isi perbincangan kami tidak jauh dari cerita seputar kelas yoga, pengalaman mengajar, atau wawasan seputar peryogaan, malam itu Teh Erna tiba-tiba menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan… Matematika. Sepertinya Teh Erna sedang menemani anaknya belajar atau mengerjakan PR, karena agak mustahil jika soal-soal tersebut memang betul ditujukan untuk dia sendiri.

Soal-soal yang ditanyakan oleh Teh Erna malam itu adalah seputar definisi-definisi dasar dalam Matematika, seperti menyebutkan contoh bangun segiempat yang memiliki dua sumbu simetri, bilangan mana yang memiliki angka tertentu sebagai ribuan, dan semacamnya. Hanya saja, soal-soalnya hadir dalam Bahasa Inggris, jadi memang butuh beberapa kali lebih banyak memutar otak untuk memecahkannya. Kurang lebih, bagi saya terasa seperti memecahkan teka-teki. Untungnya, saat itu saya ditemani oleh Meta [link]. Selama hampir 30 menit, kami berdua bahu-membahu memecahkan beberapa soal yang diajukan oleh Teh Erna. Soal terakhir yang ditanyakan oleh Teh Erna adalah tentang sebuah bangun ruang. Begini bunyi pertanyaannya:

“Alex thinks of a 3D shape. It has 6 vertices, 5 faces, and 9 edges. Write down the name of the 3D shape Alex is thinking of.”

Saya dan Meta untuk beberapa saat tidak menjawab apa-apa. Saya yakin, saat itu kami berdua melakukan hal yang sama: mencari alat tulis dan selembar kertas untuk mulai mencoret-coret. Respon pertama datang dari Meta yang menanyakan perbedaan vertices dan edges. Seketika ingatan saya langsung terbawa ke tampilan layar yang saya tatap berjam-jam, hampir setiap hari, beberapa tahun yang lalu: user interface dari software Autodesk 3DsMax. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya saya mengirimkan sebuah jawaban:

Vertices itu titik sudut, Met. Edges itu rusuknya.”


Satu minggu sebelum kejadian itu, saya mendapat ‘undangan’ via Instagram dari seorang solois wanita berdarah Maluku asal Bandung, Grace Sahertian [link]. Melihat notifikasi tag darinya cukup membuat saya deg-degan dan penasaran. Ketika saya klik post tersebut, saya terbawa ke info ini:

//platform.instagram.com/en_US/embeds.js
Begitu selesai membaca caption dan membuka tautan info lanjutannya [link], saya pun langsung merasa excited luar biasa. Fikri sempat beberapa kali membantu penampilan Grace di beberapa panggung sebagai gitaris. Di single video Fallin’” versi live pun, sosok Fikri bisa dengan mudah ditemukan. Tapi lebih dari sekedar itu, sudah sejak lama saya mengenal Grace sebagai penyanyi wanita bersuara luar biasa.

Kebetulan, saya dan Grace adalah alumni dari kampus dan fakultas yang sama. Kami tidak tercatat sebagai mahasiswa di angkatan yang sama, tapi saya sempat mendengar lantunan suaranya di sebuah acara wisuda kampus kami. Suaranya–sekali lagi–memang luar biasa. Sejak saat itu saya sangat  mengaguminya. Makanya, ketika Fikri mendapat tawaran untuk menjadi anggota band pengiring Grace, saya sebenarnya merasa iri. Hihihihi.

Tag dari Grace saat itu seketika menghilangkan rasa iri saya yang terpendam berbulan-bulan pada Fikri. Akhirnya, saya juga punya kesempatan untuk berkarya dengan ‘ditemani’ suara emas Grace. Malam itu saya berkali-kali mengajak Fikri berdiskusi tentang konsep yang kira-kira bisa saya eksekusi–dengan memanfaatkan yoga, tentunya (karena mengharapkan karya berupa cover version lagu Grace dari getaran pita suara saya sepertinya merupakan ide yang cukup… mencekam 😆 ).


Dua kejadian yang terjadi dalam waktu berdekatan itu, lagi-lagi, membuat saya merasa ‘dipaksa’ untuk mensyukuri jalan hidup saya. Jalan hidup yang sering menimbulkan tanda tanya bagi mereka yang melihat, dan bagi saya yang menjalankan.

Saya menghabiskan empat tahun untuk bergulat dengan berbagai macam teori dan tugas-tugas di jurusan Desain Produk, dan beberapa tahun tambahan untuk duduk di depan meja kerja, menghadapi layar yang berhiaskan berbagai software desain. Tapi sekarang, dalam seminggu bisa dihitung dengan jari waktu yang saya habiskan di depan layar komputer–itu pun tidak semuanya diisi oleh software penghasil file-file JPG. Sangat tidak sebanding angka waktu tersebut jika dibandingkan dengan waktu yang saya habiskan di atas matras.

Tapi tidak pernah ada ilmu yang harus disesali, karena tidak pernah ada pengetahuan yang sia-sia–paling tidak, begitulah yang saya sadari sejauh ini.

Karena pernah mengoperasikan Autodesk 3DsMax (meskipun tidak kunjung mahir juga), saya jadi bisa membantu Teh Erna menemani anaknya belajar. Karena pernah bersekolah desain, saya jadi mengenal Grace dan merasa sangat terhormat ketika diajak merespon karya terbarunya dengan cara saya sendiri. Terlalu banyak yang bisa saya syukuri dari hari-hari yang sudah saya lewati dengan ilmu desain. Bahkan sampai detik ini–ketika saya lebih pantas disebut sebagai praktisi yoga daripada sebagai seorang desainer.

Hidup saya memang tidak sesederhana operasi Matematika, di mana satu tambah satu selalu langsung bisa disamakan dengan dua. Hanya karena saya tidak menemukan ‘dua’, bukan berarti saya berada di jalan yang salah. Saya tidak boleh lupa bahwa ‘2’ dan ‘II’ pun juga memiliki makna yang sama dengan ‘dua’.

Anyway, Hasil ‘karya’ flow yoga saya dalam merespon lagu “Fallin’” dari Grace Sahertian bisa dilihat di sini:

Dan video live yang menampilkan sosok Fikri bisa dilihat di sini:

Jangan lupa klik thumbs up dan subscribe, ya! 😆

 

Namasté 🙂

Dyah Synta

2 Comments

  1. Aduh gile gw masuk blog nya mbak keren ini ^__^. Iya, aku juga tadi lagi mikir betapa jalanku yang loncat2 dari anak ilmu komputer sampe penari sampe yogi ini bener2 kayak udah diatur. Supe thankful. Namaste, syn.

    Like

Leave a comment