Berfungsi sebagai Manusia

Lahir dan besar di negara yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi seperti Indonesia membuat saya kagum saat mendengar bahwa beberapa negara maju seperti Jerman, Rusia, bahkan Jepang saat ini menghadapi satu masalah yang hampir sama, yaitu pertumbuhan penduduk yang menunjukkan angka minus. Tentu saja pada awalnya saya kira kondisi itu adalah sebuah keistimewaan, karena negara-negara tersebut mungkin tidak akan menghadapi lagi permasalahan kemacetan dalam waktu dekat. Tapi kalau mendengar dari orang-orang yang benar-benar memperhatikan kondisi negara-negara itu, sebenarnya ‘keistimewaan’ ini justru memiliki dampak negatif yang cukup berbahaya.

Sebagai contoh, beberapa orang berkeyakinan bahwa saat ini negara Jepang sudah kesulitan untuk mempertahankan kemajuannya di berbagai bidang karena kekurangan tenaga kerja dalam usia produktif. Penyebabnya sederhana, yaitu karena orang-orang yang membawa Jepang pada masa kejayaan teknologi dan perkembangannya dulu begitu workaholic, sampai menganggap bahwa pernikahan hanya akan menambah beban hidup mereka yang sudah begitu penuh tekanan. Mereka memiliki masalah regenerasi yang bahkan menimbulkan ancaman kepunahan populasi asli jika tidak ditindaklanjuti secara serius.

Terus terang, saya tidak pernah menyangka bahwa negara-negara yang banyak melahirkan ilmuwan dan penemuan-penemuan yang berjasa besar bagi kesejahteraan dunia bisa menghadapi masalah yang berkaitan dengan fungsi dasar biologis manusianya. Tapi ketika membahas tentang topik ini bersama Fikri dalam perjalanan pulang tadi malam, saya justru terpikir bahwa fenomena seperti ini sebenarnya mengelilingi saya, dalam contoh-contoh kecil, dalam bentuk-bentuk lain.

Dia sempat menceritakan sebuah pengalaman ketika suatu hari ia menambah porsi olah raganya terlalu drastis, lalu tidak bisa tidur sekejap pun di malam harinya.

Hal pertama yang langsung terpikir oleh saya adalah sebuah cerita yang saya dengar beberapa minggu lalu dari sahabat saya yang sedang giat-giatnya merutinkan olah raga. Dia sempat menceritakan sebuah pengalaman ketika suatu hari ia menambah porsi olah raganya terlalu drastis, lalu tidak bisa tidur sekejap pun di malam harinya. Padahal, logikanya, olah raga seharusnya membugarkan tubuh, yang lalu menjadikan berbagai fungsi dasar tubuh–termasuk fungsi untuk beristirahat–bisa berjalan sebagaimanamestinya. Olah raga seharusnya justru meningkatkan kualitas istirahat para pelakunya dengan meningkatkan efisiensi denyut jantungnya [link], tapi yang dialami oleh sahabat saya ini justru benar-benar sebaliknya.

Lalu saya juga teringat kejadian lain yang saya dengar beberapa tahun yang lalu, ketika salah seorang teman saya meyakinkan saya untuk beryoga di studio yang rutin didatangi olehnya. Teman saya ini menceritakan pengalaman buruknya dalam beryoga, yaitu ketika ia merasakan ketidaknyamanan di salah satu bagian tubuhnya sampai terasa cukup sakit. Ketika ia mengusut asal-muasal dari cederanya, ia mencurigai beberapa faktor penyebab. Salah satunya adalah karena ia mempercayakan latihan yoganya pada seorang teman yang sudah lama berlatih yoga, namun sayangnya belum berkesempatan untuk mengambil pendidikan pengajar yoga. Setelah ia memutuskan untuk mendatangi studio yoga ini, ia mengaku ketidaknyamanan di tubuhnya dirasa semakin lama semakin membaik.


Saya selalu merasa bahwa manusia adalah kesatuan yang kompleks, dan menjadi manusia adalah sebuah PR yang tidak ada habisnya. Untuk bisa memahami bagaimana organ penceraan bekerja saja dulu saya butuh waktu berjam-jam mendengarkan guru Biologi saya bercerita, dan berjam-jam membolak-balik halaman demi halaman. Sudah begitu pun–ketika diuji lewat ulangan–nilai yang saya peroleh bukan 100, alias masih ada saja hal-hal yang belum saya pahami. Padahal saat itu saya baru berusaha memahami satu fungsi sebagai manusia, yaitu pencernaan. Sementara masih ada ribuan lagi fungsi yang berjalan dalam diri sebuah individu, mulai dari yang bersifat fisik sampai yang non-fisik.

Setelah mendengar cerita tentang negative population growth dan mengingat beberapa kejadian yang terjadi di sekitar saya, saya merasa PR saya sebagai manusia semakin berat. Saya bukan merasa berkewajiban untuk membenahi seluruh permasalahan-permasalahan itu, tapi saya justru jadi sadar bahwa untuk mencegah terjadinya hal-hal itu, saya harus bisa memastikan bahwa seluruh fungsi dasar saya sebagai manusia bisa berjalan secara optimal, tanpa ada satu yang mendominasi yang lainnya.

Dalam artian, logika saya tidak boleh mengambil alih ‘tugas’ perasaan saya. Ambisi saya tidak boleh menghilangkan kesadaran akan keterbatasan saya. Kebanggaan saya tidak bisa menutupi ketidaksempurnaan saya. Sama seperti kegilakerjaan para penduduk negara Jepang tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa mereka tetap butuh bereproduksi.

Ambisi saya tidak boleh menghilangkan kesadaran akan keterbatasan saya. Kebanggaan saya tidak bisa menutupi ketidaksempurnaan saya.

Memilih jalur berkarya sebagai pengajar yoga memang membuat saya merasa dituntut untuk selalu bugar. Tapi bukan berarti demi mencapai kondisi bugar itu saya jadi harus mengorbankan empati saya pada tubuh saya, atau orang lain. Saya tetap harus memahami batas kemampuan tubuh saya dan memberi haknya untuk menjalankan fungsi istirahat. Saya juga tidak berarti harus menjauhi teman-teman saya hanya karena mereka–misalnya–masih merokok atau begadang. Karena saya sebagai manusia pun memiliki fungsi sosial, butuh berteman.

Ketika rutin berlatih yoga membuat saya memiliki kemampuan untuk melakukan asana-asana yang terlihat kompleks, saya pun tidak lantas jadi diperbolehkan untuk mengorbankan kerendahan hati saya dalam mengakui bahwa ada hal-hal tertentu tentang kebugaran yang belum saya ketahui. Biar bagaimanapun, saya tidak pernah menjalani pendidikan sebagai dokter atau apoteker, jadi bukan porsi saya untuk meresepkan yoga sebagai penyembuh penyakit tertentu.

Jika praktisi yoga saja belum tentu memiliki kompetensi untuk mengajar yoga, maka pengajar yoga dan dokter juga adalah dua profesi yang jelas tidak bisa menggantikan fungsi satu sama lain.

Jika praktisi yoga saja belum tentu memiliki kompetensi untuk mengajar yoga, maka pengajar yoga dan dokter juga adalah dua profesi yang jelas tidak bisa menggantikan fungsi satu sama lain. Karena jujur pada batasan kompetensi diri sendiri juga adalah sebuah fungsi yang harus saya jalankan di dalam diri saya, seperti juga jujur pada orang lain.

Saya–seperti juga manusia pada umumnya–membutuhkan uang, pengetahuan, dan kesehatan. Tapi kebutuhan akan fungsi-fungsi itu tidak lantas meniadakan kebutuhan saya untuk berfungsi menyebarkan kebaikan, bersikap jujur, ramah, atau rendah hati. Karena jika saya memilih untuk hanya mengedepankan kebutuhan fungsi-fungsi dalam diri yang saya inginkan, lalu mengabaikan fungsi-fungsi yang saya anggap tidak penting, saya mungkin masih bisa disebut sebagai pengajar yoga, praktisi yoga, atau penggemar yoga–tapi apakah saya masih bisa disebut manusia?

 

Namasté 🙂

 

1minggu1 cerita

6 Comments

  1. Setuju banget. Kemajuan teknologi jepang malah bikin kemunduran populasi manusianya. Karena memang mindset warganya yg nggak mau punya Anak (setauku). Bahkan pemerintahnya menjanjikan hadiah bagi siapa saja Yang melahirkan Anak (lagi-lagi setauku) hahaha

    Like

  2. Make ur life balance,, itu yg selalu sy tanamkan dlm diri sy, berlatih yoga yg cukup, punya kehidupan sosial, dan tentunya punya wkt yg cukup buat keluarga, so jgn terlalu memaksakan berlatih berlebihan krn kita pun hrs mencintai diri kita sendiri, dengan cara memberikan tubuh kita untuk relax sejenak.
    Enjoy ur life

    Like

Leave a comment