Satu Minggu dengan Hijab

Untuk sebagian besar wanita yang memeluk agama Islam seperti saya, menggunakan hijab/jilbab adalah salah satu keputusan besar yang harus dibuat dalam hidup. Saya termasuk orang yang beruntung karena–selain beberapa pembicaraan singkat dengan ayah saya–saya tidak pernah merasa mendapat paksaan dari siapapun untuk berhijab. Dan alhamdulillah, selama sekitar satu minggu terakhir ini, saya telah memutuskan untuk menggunakan jilbab setiap kali saya harus meninggalkan rumah.

Tidak ada satu momen khusus yang membuat saya yakin untuk berhijab. Jadi, selama seminggu kemarin, saya selalu bingung saat harus menjawab pertanyaan, ‘Kok tiba-tiba jilbaban, sih, Syn?’  Yang saya tahu, pertama kali saya mencetuskan ide itu kepada Fikri adalah sekitar satu tahun yang lalu. Tapi ide tersebut tidak saya wujudkan karena saya merasa masih banyak ‘PR’ yang harus saya kerjakan. Fikri pun juga merasa begitu, terutama karena saya masih terlalu semangat menyikapi update dari Lambe Turah dan–saat itu–begitu semangat pula mengomentari kehidupan Awkarin dan kawan-kawannya 😆

Tapi selama satu minggu terakhir ini, saya merasa sangat lega.

Hari terberat yang harus saya hadapi selama seminggu kemarin adalah hari Jumat. Setiap hari Jumat, saya dan Fikri memang memiliki aktivitas yang lumayan khas. Saya memiliki jadwal mengajar tiga kelas yoga–dua di pagi hari, dan satu di sore hari–yang sebagian besar pesertanya adalah teman-teman yang cukup akrab dengan saya secara personal. Setelah urusannya selesai, Fikri akan menunggu saya di kantor teman yang sudah kami kenal sejak kuliah, dan saya akan menjemputnya setelah saya mengajar kelas sore.

Biasanya, hari Jumat menjadi hari yang menyenangkan untuk saya, karena hari itu saya dan Fikri bisa bertemu dengan teman-teman dekat yang akrab dengan kami. Tapi tidak begitu dengan hari Jumat kemarin.

Saya pernah mendengar bahwa keputusan berhijab seringkali diikuti dengan menjauhnya beberapa teman yang tadinya dekat dan akrab.

Saya begitu grogi membayangkan bagaimana mereka melihat penampilan baru saya. Saya samasekali tidak bisa membayangkan reaksi yang akan saya terima. Saya pernah mendengar bahwa keputusan berhijab seringkali diikuti dengan menjauhnya beberapa teman yang tadinya dekat dan akrab. Orang-orang ini adalah teman-teman terakhir yang saya harapkan untuk mengeluarkan reaksi semacam itu. Bahkan memikirkan kemungkinan hal itu terjadi saja sudah cukup untuk membuat saya deg-degan sepanjang jalan dan ogah turun dari mobil sebelum menjumpai mereka.

Kalau saya ingat-ingat lagi, perasaan itu sangat mirip dengan perasaan yang saya miliki ketika saya mulai memutuskan untuk menjadikan yoga sebagai bagian penting dari hidup saya. Saat saya memutuskan untuk mengajar yoga dan banyak berbagi tentang yoga melalui blog ini, saya menemui beberapa ketakutan. Salah satu yang terbesar adalah saya takut dihakimi dan dijauhi oleh orang-orang yang saya kenal karena memilih pekerjaan yang sesuai dengan passion saya. Di satu sisi, yoga membuat saya bahagia dan saya ingin membuat sebanyak mungkin orang merasakan kebahagiaan yang sama. Di sisi lain, saya takut mengecewakan harapan yang dimiliki oleh teman-teman dan keluarga terhadap saya.

Salah satu yang terbesar adalah saya takut dihakimi dan dijauhi oleh orang-orang yang saya kenal karena memilih pekerjaan yang sesuai dengan passion saya.

Setelah satu tahun menjalani ‘hidup penuh yoga’, saya baru menyadari bahwa kekhawatiran saya itu bisa dibilang hampir tidak beralasan. Tapi dilema yang sama ternyata kembali muncul setahun kemudian dalam bentuk lain, yaitu hijab.

Sejak hari Jumat kemarin, saya tidak pernah bisa berhenti beranggapan bahwa hidup saya selama ini seperti bawang: terlalu lama tertutupi oleh lapisan-lapisan yang semakin lama semakin berlapis. Setiap kali saya berusaha memenuhi harapan orang lain pada saya, saya menambah lapisan itu. Setiap kali saya menempatkan kebahagiaan atau kepuasan orang lain di atas kebahagiaan saya sendiri, saya menambahkan lagi lapisan itu. ‘Siapa saya’ yang sebenarnya semakin lama semakin dalam tertutupi oleh lapisan-lapisan yang saya ciptakan sendiri. Yoga dan hijab mungkin adalah dua hal yang menunjukkan keinginan saya mengupas satu demi satu lapisan-lapisan tersebut untuk kemudian menemukan kembali diri saya yang sebenarnya.

‘Siapa saya’ yang sebenarnya semakin lama semakin dalam tertutupi oleh lapisan-lapisan yang saya ciptakan sendiri.

Saya sendiri cukup kaget ketika saya merasa lega karena teman-teman saya mengeluarkan reaksi yang cukup positif terhadap hijab yang saya kenakan. Saya merasa lega karena teman-teman saya menerima penampilan yang saya rasa mencerminkan diri saya yang sebenarnya, yang mungkin berbeda dari ‘diri saya’ yang selama ini ada di persepsi mereka–diri saya yang sudah ditutupi oleh ratusan lapisan tadi.

Saya memang bukan orang yang religius, dan saya akan sangat terkejut kalau ada orang yang menganggap saya religius. Tapi ternyata, jauh di dalam alam bawah sadar, saya selalu tahu bahwa saya adalah seorang Muslimah. Dan saya selalu tahu bahwa berhijab adalah satu-satunya cara berpakaian yang mencerminkan jati diri saya sebagai seorang Muslimah. Ya, setelah berhijab saya merasakan adanya tuntutan untuk berperilaku lebih islami. Tapi–paling tidak sampai saat ini–saya justru merasa tuntutan itu mengembalikan saya pada diri saya yang sebenarnya, dan seharusnya.

Saya memang bukan orang yang religius, dan saya akan sangat terkejut kalau ada orang yang menganggap saya religius.

Satu minggu kemarin adalah minggu yang penuh dengan permohonan maaf yang saya ucapkan pada diri saya sendiri. Saya tidak pernah merasa sudah begitu banyak menciptakan alasan untuk membohongi saya atas nama penampilan, ingin mempertahankan pertemanan, atau memenuhi ekspektasi orang lain.

Saat ini, saya hanya bisa berdoa supaya saya diberi keteguhan hati untuk mempertahankan kejujuran pada diri saya sendiri ini. Satu minggu adalah waktu yang terlalu singkat untuk merasa percaya diri atas sebuah keputusan. Tapi yang saya tahu, meminta maaf pada diri sendiri karena telah membohonginya adalah salah satu hal paling menyedihkan yang pernah saya lakukan, jadi saya benar-benar tidak mau kalau harus mengulanginya. Mudah-mudahan ‘lapisan’ yang tertinggal untuk saya kupas tidak banyak lagi, karena saya sendiri tidak sabar untuk menemui saya yang ada di balik itu semua. Tolong bantu doakan dan ingatkan saya, ya, kalau suatu hari kamu melihat saya kembali membohongi diri saya sendiri lagi 🙂

//platform.instagram.com/en_US/embeds.js

Namasté 🙂

 

1minggu1 cerita

39 Comments

  1. Semangat Synta sayang.. hijrah itu emg pasti sulit, semua yg br hijrah pasti akan mengalami yg km alamin. Insya Allah istiqomah yaa, yuk kita semangat terus belajat mencari ridho Allah *Self reminder

    Like

  2. ah teh synta, aku padamu lah.. *hahaha, apaan sih xD*

    “Dan saya selalu tahu bahwa berhijab adalah satu-satunya cara berpakaian yang mencerminkan jati diri saya sebagai seorang Muslimah. Ya, setelah berhijab saya merasakan adanya tuntutan untuk berperilaku lebih islami. Tapi–paling tidak sampai saat ini–saya justru merasa tuntutan itu mengembalikan saya pada diri saya yang sebenarnya, dan seharusnya.” -> Ini aku setuju banget Samangat terus ya, semoga istiqomah teh

    Like

  3. Akhirnya blog yg ditunggu posting juga, karena setiap cerita dibalik keputusan berhijab setiap orang itu selalu seru dan selalu mengagumkan ❤️❤️❤️❤️
    Selamat ya kakak syn, semoga istiqomah dan semakin bahagia tentunya dengan. muach!

    Like

  4. Persis banget seperti yang aku rasain waktu pertama ke kantor dengan hijab…. :’) jujur aku mikirin banget dan terbebani sama apa yg orang lain akan bilang… ternyata semua mendukung dan tetap melihat aku sebagaimana aku dengan hijab atau engga… :’) bener syn… pakai hijab adalah sebuah proses menemukan diri sendiri :’) bismillah…..

    Selamat ya synn :”)

    Like

Leave a comment