Saya Tidak Punya Kampung Halaman

Saya adalah salah satu orang yang sangat beruntung karena memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam beberapa kota dan provinsi yang berbeda. Sejauh ini, saya pernah menetap di tiga kota: di Kota Bontang selama 13 tahun pertama hidup saya, di Jakarta untuk 5 tahun berikutnya, dan di Kota Bandung untuk 4 tahun selama saya kuliah. Setelah itu, saya sempat kembali ke Jakarta untuk bekerja selama 3 tahun sampai akhirnya menetap di Bandung selama 3 tahun terakhir.

Lahir dan menetapnya saya di Bontang pada tahun-tahun awal hidup saya disebabkan karena di situlah ayah saya bekerja. Sebagian besar teman-teman saya di Bontang pun juga berada di sana karena alasan yang sama. Kami adalah sekelompok besar keluarga perantau yang berada di kota tersebut karena ayah kami bekerja di perusahaan yang sama.

Lamanya kami menetap di kota itu pun sebenarnya sudah dibatasi sejak awal. Sebagian besar dari kami sudah paham bahwa ketika ayah kami tidak lagi bekerja di perusahaan itu–baik karena mengundurkan diri ataupun karena pensiun–kami akan menetap di kota lain, yang biasanya adalah kampung halaman orang tua kami. Jadi, meskipun sangat lama menetap di kota tersebut, saya pribadi tidak pernah merasa bahwa kota itu adalah kampung halaman saya. Kota itu hanya tempat ayah saya bekerja yang kebetulan menjadi kota tempat saya dilahirkan juga.

Tapi menyebut bahwa Jakarta atau Bandung adalah kampung halaman saya pun tidak pernah terasa benar. Selain karena saya tidak kunjung bisa menguasai bahasa daerahnya, saya selalu merasa sebagai pendatang di dua kota ini–meskipun saya cukup terbiasa dengan ritme dan kebiasaan orang-orangnya.

Ya, saya adalah salah satu orang yang beruntung karena dapat ‘mencicipi’ tumbuh besar di beberapa kota yang berbeda. Tapi di sisi lain, saya juga orang yang kurang beruntung karena tidak memiliki satu tempat yang dapat saya nobatkan sebagai ‘kampung halaman saya’.


Latar belakang ini tentu mempengaruhi beberapa sifat di dalam diri saya. Yang pertama, saya tidak merasakan keterikatan atau ketergantungan tertentu pada sebuah kota. Ini bisa jadi disebabkan karena sejak kecil saya dikelilingi oleh orang-orang yang rela keluar dari kota kelahiran mereka untuk mengadu nasib. Hal ini tidak pernah terasa sebagai sesuatu yang aneh untuk saya. Bahkan, ketika kecil dulu, saya sempat berpikir bahwa semua orang memang pasti akan pergi ke kota lain ketika mereka dewasa. Jadi, terkadang, justru orang-orang yang sejak lahir sampai dewasa hanya berada di satu kota saja terlihat ‘aneh’ di mata saya. Not in a bad way, though. Hanya saja, saya memang tidak terlahir dengan kemewahan itu.

Bahkan, ketika kecil dulu, saya sempat berpikir bahwa semua orang memang pasti akan pergi ke kota lain ketika mereka dewasa.

Yang kedua, saya jadi tidak terlalu menyukai traveling. Untuk yang satu ini, saya dan Fikri [link]–untungnya–satu suara, meskipun untuk alasan yang berbeda. Fikri tidak terlalu menyukai traveling karena memang pada dasarnya dia tidak suka berpisah dari Kota Bandung. Sementara saya tidak terlalu menyukai traveling karena merasa ‘menetap’ adalah sebuah hal yang sangat saya hargai. Lagi-lagi, saya tidak pernah merasa memiliki kemewahan untuk menetap. Jadi ketika saya bisa tinggal di satu kota, rasanya saya ingin benar-benar merayakan hal itu dengan cara saya sendiri, yaitu dengan tidak bepergian meninggalkannya.

Jadi ketika saya bisa tinggal di satu kota, rasanya saya ingin benar-benar merayakan hal itu dengan cara saya sendiri, yaitu dengan tidak bepergian meninggalkannya.

Yang ketiga, saya tidak memiliki kecintaan khusus pada kota tertentu, dan sangat memahami bagaimana hidup di kota yang berbeda akan berdampak pada gaya hidup yang berbeda pula. To some extend, bahkan mungkin saya jadi tidak memiliki fanatisme pada hal apapun. Salah satu pertanyaan yang sejak dulu paling sulit untuk saya jawab adalah, “Lebih enak tinggal di Kota X atau di Kota Y?” Dan memang, dalam banyak hal, saya selalu mengalami kesulitan untuk menentukan satu hal yang paling saya sukai daripada hal-hal lainnya. Termasuk–tentunya–dalam berolah raga.

Saya memang memiliki kecintaan tersendiri pada yoga. Tapi untuk seumur hidup mendedikasikan seluruh waktu olah raga saya melakukan yoga saja, rasanya saya tidak akan mampu. Karena itulah saya tetap berusaha merutinkan bersepeda, lari, dan melakukan latihan penguatan lainnya. Bukan berarti olah raga lain ini lebih bermanfaat daripada yoga atau sebaliknya, tapi–seperti halnya kota–mereka memiliki ‘jiwanya’ masing-masing. Dan keragaman ‘jiwa’ dalam olah raga yang berbeda inilah yang menurut saya bisa memperkaya diri saya.

Dan keragaman ‘jiwa’ dalam olah raga yang berbeda inilah yang menurut saya bisa memperkaya diri saya.

Untuk saya, setiap kota memiliki jiwa masing-masing. Dan jiwa ini bukan ada untuk kita nilai, melainkan untuk menjadi salah satu alasan kita beradaptasi. Jiwa ini juga tidak membuat satu kota menjadi lebih unggul daripada kota yang lainnya. Jiwa ini hanya mempertegas alasan mengapa mereka dinamai sebagai kota yang berbeda.


Saya ingat, ketika kecil dulu, saat bertukar diary untuk saling mengisi biodata, saya sangat membenci poin makanan dan minuman favorit. Waktu salah seorang teman saya menanyakan alasan saya tidak pernah mencantumkan dua poin itu dalam biodata saya, saya menjawab:

“Aku kan belom pernah ngerasain semua jenis makanan yang ada di dunia, dari mana aku harus tau mana yang jadi favoritku? Gimana kalo makanan yang aku makan minggu depan ternyata lebih enak daripada makanan favoritku hari ini?

Sekarang–kalau saya ingat lagi–jawaban itu sebenarnya agak bodoh, ya. Hahahahaha. Tapi mungkin itu menunjukkan bagaimana saya tidak suka ‘bermain favorit’, bagaimana saya ingin tetap membuka kemungkinan untuk berbagai hal dan selalu mencoba hal baru.

Menurut saya, seluruh entitas yang ada di dunia ini tercipta untuk menjadi unik, bukan untuk menjadi yang ‘maha’–karena itu sudah menjadi tugas Tuhan. Baik itu manusia, olah raga, kota tempat tinggal, tempat bekerja, hobi, atau apapun, bukan tercipta untuk dipilih salah satu saja, tapi untuk saling memperkaya dan melengkapi. Saya tidak bisa menyebut Bontang, Jakarta, atau Bandung sebagai kampung halaman saya, tapi bagian-bagian tertentu dari ketiga kota itulah yang membentuk siapa saya saat ini. Mungkin saya memang tidak suka bertualang atau berkelana, tapi saya ingin selalu bisa diperkaya oleh seluruh bagian dunia yang saya temui.

Termasuk oleh kamu yang sedang membaca tulisan ini juga 🙂

 

Namasté 🙂

 

1minggu1 cerita

39 Comments

  1. Cinta :). Akupun adalah orang yang merasa tidak punya kampung halaman. Mungkin karena sering pindah2 dan memang tiap kota punya keistimewaan sendiri. Jadi in summary, aku cinta semua kota yang pernah aku tinggali. Tapi perbedaan kita ya kayaknya aku ini memang jiwanya petualang dan selalu mencari tempat berikutnya yang akan aku tinggali. 🙂 Thank you for sharing.

    Like

  2. Teh syntaa

    syuka deehh sama tulisannya.. lafff
    aku pengen deh bisa nulis kaya dirimyu simple tp dalem, sampe bacanya aku kudu bawa pelampung, takut tenggelem.. wakakakakakaka

    *lah malah jd ga komen ttg kampung halamannya

    Like

  3. Kereennn.. Ngalir aja gitu bacanya (sepengetahuan saya proses menulisnya tidak akan semudah saat membaca). Jempol pokoknya..
    Senang bisa dipertemukan lewat 1M1C.

    Salam kenal

    Like

  4. Sukaaa..!!
    Diksinya oke, gaya ceritanya ngalir bgt jadi enak dibaca. Pantesan langganan nominasi GA. Hehee..

    Mudah2an kali ini ngga sekedar nominator ya kak.. 🙂

    Like

Leave a comment