Tanjakan dan Saya

Pertama kali saya mengendarai Kojon ke kelas yoga, saya pulang dalam kondisi sangat mengenaskan. Satu-satunya yang bisa saya syukuri dari pengalaman saya satu bulan yang lalu itu adalah kelas yang dimulai agak terlambat, sehingga saya masih memiliki waktu untuk mengatur napas dan berdiam dalam posisi Uttanasana beberapa menit.

Jarak antara rumah saya dan lokasi saat itu sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 7 km. Hanya saja, memang cukup banyak tanjakan yang harus saya lewati. Tanjakan-tanjakannya juga tidak seragam–ada yang pendek namun curam, ada yang lumayan panjang namun tidak terlalu menukik, ada juga yang derajat kemiringannya menengah namun ‘dihiasi’ satu belokan cantik di tengah-tengahnya. Semua itu lebih dari cukup untuk membuat paha saya terasa panas.

Sesampainya di rumah, sambil menyeruput susu hangat favorit, saya menyadari bahwa rute yang baru saja saya hadapi itu harus saya lalui sekitar 2-3 kali dalam seminggu. Memang dalam beberapa kesempatan saya masih bisa mengandalkan mobil, tapi berhubung saya sudah berniat untuk lebih banyak memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi, saya merasa memiliki ‘kewajiban’ untuk membiasakan diri menghadapi tanjakan-tanjakan seksi tersebut. Apalagi, hampir seluruh jalan yang menuju rumah saya adalah tanjakan. Artinya, dengan atau tanpa melewati rute tersebut, melewati tanjakan memang sudah tertulis di garis takdir saya.

Dengan keberanian yang dipaksa-paksakan, saya mulai mengayuh pedal melalui satu demi satu tanjakan.

Kesempatan kedua untuk menjajal rute tersebut datang satu minggu kemudian. Dengan keberanian yang dipaksa-paksakan, saya mulai mengayuh pedal melalui satu demi satu tanjakan. Paha saya masih terasa panas, tapi kali ini, saya lebih santai dalam mengayuh–sesuatu yang sulit saya lakukan ketika pertama kali menghadapinya.

Saya lalu teringat bagaimana satu minggu sebelumnya, setiap kali melihat jalan yang menanjak, saya langsung mengerahkan seluruh tenaga untuk mengayuh secepat dan sekuat mungkin. Harapan saya tentu saja sama seperti kebanyakan orang, yaitu supaya bisa sesegera mungkin melewatinya. Pikiran ini lalu diperburuk dengan keberadaan kendaraan bermotor di sisi kanan dan kiri yang saya anggap sangat ‘mengancam’. Bukannya membuat saya jadi lebih berhati-hati, saya malah merasa harus menyamakan kecepatan dengan mereka supaya tidak mengganggu lalu lintas.

Harapan saya tentu saja sama seperti kebanyakan orang, yaitu supaya bisa sesegera mungkin melewatinya.

Saya lupa bahwa bagaimanapun kerasnya saya memacu kayuhan saya, sepeda yang bertenaga manusia tentu akan kesulitan untuk menyamai laju kendaraan bermotor. Sebenarnya, daripada membuang-buang tenaga untuk menyamai laju mereka, lebih baik saya memberi kesempatan kepada mereka untuk mendahului. Memberi jalan, istilahnya. Dengan demikian, saya tidak merasa ‘diteror’ karena terus-menerus diteriaki oleh klakson, dan mereka pun bisa kembali pada kecepatan kendaraan mereka yang seharusnya.

Ketika menyadari hal ini, saya tidak bisa menahan diri saya dari tersenyum–bahkan sedikit menertawai diri saya sendiri.


Berkali-kali, ketika beryoga, saya meyakinkan orang lain untuk tetap mengendalikan napas mereka–tidak peduli sesulit atau seaneh apapun asana yang diinstruksikan. Ini saya lakukan karena saya menyadari satu hal tentang napas, yaitu bagaimana napas sangat berkaitan erat dengan denyut jantung atau heart rate. Mengendalikan napas adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan untuk mengendalikan denyut jantung.

Mengendalikan napas adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan untuk mengendalikan denyut jantung.

Yang lucu adalah, seminggu sebelumnya, justru prinsip dasar ini yang saya lupakan. Segala hal yang saya–dan pikiran saya–lakukan adalah hal-hal yang membuat saya kehilangan kontrol akan napas saya. Tidak heran kalau di akhir sesi gowes hari itu, wajah saya pucat seperti Edward Cullen.

Saya juga jadi ingat bagaimana dalam setiap kelas yoga selalu ditekankan untuk tidak membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain yang ada di kelas itu. Selain karena setiap individu memiliki kekuatan yang berbeda, terus-menerus membanding-bandingkan diri dengan orang lain pada dasarnya sama seperti berusaha menyamai kecepatan sepeda motor dengan kayuhan pedal sepeda: menciptakan stres yang tidak perlu, membuat tubuh saya lelah untuk alasan yang kurang masuk akal.

…menciptakan stres yang tidak perlu, membuat tubuh saya lelah untuk alasan yang kurang masuk akal.

Hari itu, saya menyadari bahwa saya harus berhenti memburu-buru kaki saya untuk secepat mungkin membawa sepeda saya melewati tanjakan. Justru yang harus saya lakukan adalah sebaliknya, belajar menggowes perlahan di setiap tanjakan sambil tetap menjaga agar napas saya selalu teratur. Saya harus belajar menikmati setiap kayuhan pedal ketika melewati jalan yang menanjak.

Tanjakan-tanjakan itu akan selalu bisa saya lewati, meskipun tidak dengan kecepatan yang sama dengan kendaraan bermotor. Saya hanya harus memutuskan apakah saya ingin berada di puncak tanjakan sambil tersenyum atau sambil megap-megap karena kehabisan napas.

“No one is you, and that is your power.”

 

Namasté 🙂

 

1minggu1 cerita

9 Comments

Leave a comment