Minggu lalu, saya berkesempatan menghabiskan waktu berjam-jam bersama salah satu sahabat saya, Tadya. Meskipun beberapa minggu terakhir kami memang rutin bertemu untuk beryoga bersama, baru minggu lalu kami berkesempatan untuk menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk mengobrol. Di dalam mobil, sambil ngopi, sambil jalan-jalan. Sulit dipercaya bahwa sudah bertahun-tahun kami tidak mengobrol begitu lama, padahal dulu sepertinya kami nggak pernah bosen curhat dan bergosip berjam-jam setiap hari, sampe ngebela-belain nginep segala.
Selalu ada aja alasan untuk nggak menyempatkan diri menghabiskan waktu bersama teman atau keluarga. Alasan yang paling sering muncul pasti tidak jauh-jauh dari kesibukan pekerjaan atau mengurus ini-itu. Padahal, saya dan Tadya sama-sama tau kalo ngopi-ngopi dan ngobrol bareng–apalagi bersama teman-teman ‘segeng’ kita yang lain–adalah hal yang membahagiakan untuk kami berdua.

Kenyataannya, ternyata sesibuk apapun saya dan Tadya, sebenarnya menyisihkan waktu sebentar untuk berbincang-bincang seperti dulu masih sangat memungkinkan. Ternyata yang kami perlukan bukan kesempatan, melainkan niat.
Hal yang sama pernah terjadi juga pada saya beberapa tahun yang lalu. Bukan, bukan pada hubungan pertemanan yang lain, melainkan pada sesuatu yang kini menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseharian saya: olah raga.
Ketika baru mulai memasuki dunia kerja sebagai desainer, saya menemukan puluhan alasan untuk tidak berolah raga. Salah satu alasan ‘favorit’ saya adalah gak sempet–karena kantor saya jauh dari rumah, dan saya sering lembur. Tentu saja hal ini berakibat buruk pada kondisi kesehatan saya. Saya jadi cepet capek, gampang pegel, dan sering sesak nafas (karena celana & baju lama-lama jadi makin sempit).
Untungnya, ketika itu saya cukup iseng dan mencoba-coba ikut Bikram Yoga yang kebetulan studionya ada di dekat rumah saya. Long story short, saya lalu berkenalan pula dengan bersepeda dan lari, dan sejak saat itu hingga hari ini, saya diberi label ‘si rajin olah raga’ oleh orang-orang di sekeliling saya.
Menimpakan kesalahan pada kesibukan memang sangat mudah untuk dilakukan. Tapi kalo dilihat dengan sederhana, meluangkan waktu 1 jam setiap hari untuk melakukan hal yang membahagiakan diri kita, tentu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan waktu 24 jam yang kita punya setiap hari. Kadang malah kita hanya memerlukan waktu kurang dari 1 jam untuk memuaskan rasa kangen kita pada kegiatan yang kita gemari.
Bermusik, mengobrol dengan sahabat dekat, masak, melukis, menjahit, membuat prakarya, apapun. Jika itu membuat kita bahagia, mengapa tidak menyisihkan waktu untuk melakukannya sesering mungkin?
Think of it as an investment. Only instead of having the goal to be rich, set the goal at ‘being a whole, happier person’ instead. Because one of the simplest ways to be happier (and better-looking) person is by becoming.. passionate.