Molly Huddle adalah seorang atlet lari berkebangsaan Amerika Serikat yang mengambil spesialisasi di nomor 5,000 m dan 10,000 m. Angka Personal Best (PB) yang dicetaknya cukup mencengangkan, salah satunya adalah 30:47.59 untuk jarak 10,000 m, alias dalam waktu kurang dari 31 menit dia bisa berlari sejauh 10 km. Naik mobil aja belum tentu bisa secepet itu, soalnya kena macet.
Jadi, kalo membahas soal prestasi dan kualitas Molly Huddle sebagai seorang pelari, tentu sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Ya, mungkin masih banyak pelari-pelari lain yang bisa berlari lebih kencang dari dia, tapi tetap saja performanya masuk kategori luar biasa, alias tidak akan dengan mudah bisa disamai oleh manusia biasa. Tapi kalau prestasinya sebagai atlet masih kurang mencengangkan, saya ingin bercerita tentang satu hal yang saya kagumi dari Molly Huddle: kemampuannya untuk move on.
Pertama kali saya menyadari keberadaan Molly Huddle adalah ketika dia berlaga di Beijing dalam World Championship yang diadakan oleh IAAF pada tahun 2015. Saat itu, ia bertanding di nomor 10,000 m dengan beberapa pelari lain dari Amerika Serikat, termasuk salah satu favorit saya, Shalane Flanagan, dan Emily Infeld. Saat itu sebenarnya yang ingin saya tonton adalah Shalane Flanagan, namun ternyata Molly Huddle meninggalkan kesan lebih mendalam pada saya setelah lomba tersebut berakhir.
Alasannya bisa dilihat sendiri di sini:
Singkat cerita, Molly Huddle–yang saat itu berada di posisi ketiga–gagal memperoleh medali perunggu karena satu kesalahan kecil: mengambil pose melewati garis finish terlalu cepat. Hasilnya, yang berhak dikalungi medali adalah teman satu timnya, yaitu Emily Infeld.
Hal ini bahkan tidak disadari oleh keduanya sampai nama-nama pemenang diumumkan secara resmi. Ketika melewati garis finish, baik Molly Huddle maupun Emily Infeld (dan mungkin semua orang yang ada di stadion saat itu) yakin bahwa yang menamatkan race di posisi ketiga adalah Molly Huddle.
Sampai sekarang, saya pribadi masih nggak bisa ngebayangin gimana perasaan Molly Huddle saat itu. Entah udah berapa banyak waktu yang dia lewati dengan berbagai jenis latihan untuk mempersiapkan diri menjelang World Championship IAAF tersebut. Kebanggaan menaiki podium pun sudah di depan mata–kalo nggak mau dibilang udah sempet ada dalam genggaman. Tapi karena satu kesalahan yang bahkan sepertinya kurang cocok untuk disebut ‘kecerobohan’, satu-satunya yang menemani Molly Huddle dalam perjalanan pulang dari Beijing hanya penyesalan.
“I blew it in the last steps. I don’t know when that chance will come again. The Olympics are usually really fast from the gun. I’m old, so I’m probably not going to get another one of those. It’s frustrating. This will take a lot of time to get over.” – Molly Huddle (source)
Bahkan saya, yang saat itu hanya menyaksikan via televisi, merasa kecewa luar biasa.
Saya cukup kaget saat kemarin membuka news feed Facebook dan melihat nama Molly Huddle kembali muncul dalam sebuah artikel yang di-publish oleh Runner’s World. Lebih kaget lagi karena judul artikelnya adalah: “Molly Huddle Scores a New Record and a Win, With a Dose of Controversy”
Dalam hati, saya agak nggak tega mau mengklik link tersebut. Nggak tega membayangkan Molly Huddle menimbulkan kontroversi lain lagi. Tapi karena nggak bisa berhenti penasaran ‘Akhirnya menang gak ya dia?’ akhirnya saya membuka dan membaca artikel tersebut.
Ternyata kali ini Molly Huddle keluar sebagai pemenang NYC Half Marathon 2016.
Woooooooowwwwwww. Saya senang sekali mendengarnya.
Luar biasa untuk saya, membayangkan seseorang yang sempat dikecewakan oleh diri sendiri bisa bangkit, mempertahankan, bahkan meningkatkan semangatnya untuk tetap berusaha menjadi yang terbaik. Saya tidak tahu apa yang dilakukan oleh Molly Huddle selama 7 bulan terakhir ini, namun yang saya yakini, dia pasti tidak hanya sekedar berlatih. Dia pasti juga berusaha mati-matian untuk mengembalikan kepercayaannya pada diri sendiri. Dan dia berhasil. A true fighter, indeed.
Jadi, ya, saya kagum sama Molly Huddle karena dia bisa move on dari kegagalannya. Untuk beberapa orang, mungkin hal ini akan terlihat remeh.
‘Ya dia harus move on lah, kalo gak kan kariernya selesai begitu aja.’
Bener. Tapi seperti halnya manusia pada umumnya, pasti udah pada tau kan gimana susahnya move on dari masa lalu? Apalagi kalo masa lalunya melibatkan kesalahan yang diperbuat oleh diri sendiri dan mengecewakan diri sendiri serta.. satu negara. Menurut saya sih itu nggak ada gampangnya sedikitpun.
Congratulations, Huddle!